Lihat ke Halaman Asli

Peta kehidupan

Bukan sekarang

Sajadah dan Rantau

Diperbarui: 5 Juni 2022   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sajadah dan Rantau

Agama memberi sebuah takaran untuk kehidupan ini, begitu juga untuk menerapkannya dalam kehidupan pula. Apabila seseorang jauh dari rumah, kampung halaman seantero tak terlihat olrh kejauhannya. Maka pasti rindu dan doa menjadi sahabatnya untuk menikmati kesendirian itu. Apalah jadi seseorang jauh dari agama dan penerapannya kelak nati.

Sebuah kisah dimana untuk mengenang orang-orang jauh di rangkul rindu pada rumah, orang tua bahkan kampung halaman. Badan terasa jenazah, sebab tak dapat merangkul keluarga. Tawa dan sedih tak dapat lagi jadi saksi untuk cerita di usia tua nanti. Begitulah kebahagian didalamnya, menjadi hidup-hidup tiada berguna. 

Kalaulah hanya raga saja yang dapat merasakan demikian, lantas apakah jiwa dapat kebagian, olehnya sangat lebih dalam lagi jika di tanya apa yang ia rasakan pada jauhnya dari kampung halaman. Namun itulah dia hanya jadi korban dalam hal yang tak nampak kita lihat dan akan senantiasa kita rasakan saja.

Jauhnya telah mengabari begitu juga rindunya telah di ketuk. Pada suatu hari di mana tahun yang telah pasti ada bulan Ramadhan datang, dimana akan ada adanya kebahagian, seolah semuanya bisa saja di adakan oleh bulan itu.

Al-Ghifar adalah seseorang lelaki yang dalam perantauan. Dalam perantauan itu ia menempuh pendidikan (sarjana), boleh di kata amat jauh dari daerah itu. 

Hingga beberapa bulan setelah di tinggalkannya kampung halaman, bulan Puasa datang membawa rindunya kepada keluarga. Rindu yang akan di rasanya ketika tiba waktu sahur, suara ibu membangunkannya bahwa “Ghifar bangun, sahur”. Seketika itulah ia terbangun dan menuju hidangan yang telah siap. 

Selain itu rindu pula akan mengingatkannya kepada ayah, apabila telah datang puasa mereka selalu melakukan diskusi kecil setelah buka puasa selesai. Saling membagi ilmu dalam keagamaan dan memperbanyak ibadah beserta amalannya.

Tetapi tidak dapat di rasakan secara nyata, sebab akan mustahil. Yang ada hanyalah rindu yang senantiasa mengingatkan dan bercucurannya air mata. Kini puasa tiba, dan yang pertanya ia ingat ialah hanya keluarga kecil tetapi berjiwa besar. Saat puasa dia terbayang hal yang ia lakukan, baik itu kecil ataupun besar. 

Namun tersimpan dalam kepala dan membuat hati serupa di isi oleh beberapa besi hingga berat untuk bertahan. Numun tidaklah mungkin orang-orang perantau tidak ada penangkalnya masing-masing, sebab apabila inginn berlayar ke negeri yang jauh pasti telah disiapkannya aramada dan persiapan yang cukup lengkap.

Seorang perantau hanya memiliki senjata ampuh yaitu Sajadah. Itulah tempatnnya meminta, tempat menyampaikan keluh kesah serta membuktikan bahwa dia itu lemah, tetapi dibalik kelemahan itu ada Allah tuhan maha kuasa. Bahkan jadi teman dalam kesedihan, kerinduan apalagi untuk memohon. Tiada yang dapat mengalahkan doa dalam hamparan sajadah, oleh itulah seorang perantau tidak pernah meninggalkan sajadahnya ketika dalam sebuah perjalanan (merantau). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline