[caption id="attachment_185925" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi kawasan Roppongi, Tokyo, Jepang"][/caption] Maksud hati berjalan-jalan pagi melihat-lihat suasana kota sekitar kami menginap. Mencari-cari obyek yang bisa difoto meski cuaca pagi itu di Tokyo, Jepang, sedang tidak bersahabat. Hujan turun mengguyur sejak Jumat (13/4/2012) malam selepas kami meliput acara peringatan 50 Tahun Garuda Indonesia terbang ke Jepang sampai pagi hari dan terus berlanjut hingga Sabtu larut malam. Tidak deras sekali seperti umumnya hujan di Jakarta memang, tetapi udara dingin sekitar 14 derajad Celcius membuat telapak tangan terasa berkerut-kerut. Hujan di Tokyo tak menampar-nampar wajah. Gerimisnya tipis-tipis tetapi tetap saja membuat baju jaket basah, dan kamera pun harus dibungkus rapat-rapat jika tak lagi digunakan. Dari Hotel Ibis di kawasan Ropongi di mana kami --11 wartawan dari Indonesia-- menginap, saya dan seorang rekan berjalan pelan menembus dingin dan rinai gerimis ke arah kanan. Kami ingin melihat-lihat dulu ada apakah gerangan di sekitar hotel. Siapa tahu pada siang atau malam nanti kita bisa belanja di situ. Baru sekitar 300 meter dari hotel, perjalanan saya yang memang pelan-pelan terhenti. Satu dari tiga perempuan muda yang berdiri di emperan toko berdiri dan mendekat: "Massage? massage?" Terus terang saya terbeliak. Pagi pagi pulul 06.30 masih ada cewek menawari pijat? Apa ya ada yang mau? Saya sebenarnya tergoda juga untuk berkomunikasi lebih lanjut, tetapi apa daya, mereka tak paham bahasa Inggris sepatah-sepatah, saya pun tak mengerti bahasa Jepang secuil pun. Komunikasi gaya tarzan bisa saja terjadi, tetapi itu kan nanti. Meski dia terus menarik-narik lengan saya sambil menunjuk-nunjuk sebuah bar yang pintu kecilnya masih sedikit terbuka, saya tetap melanjutkan perjalanan bersama seorang rekan. Akan tetapi, belum juga 10 langkah, tiga perempuan lain menawarkan hal yang sama: "Massage-massage." Meski saya sudah berusaha acuh, tetap saja seorang di antaranya terus menggelendot sambil menunjuk-nunjuk ke arah blok di balik toko-toko itu. Ketika saya tak juga hirau, mereka segera melepas, tetapi di depannya lagi ada seorang perempuan muda yang lebih manis. Kali ini dia tak hanya menawarkan pijat. Mungkin karena dia melihat tiga atau empat kelompok perempuan lain yang tak berhasil merayu, maka dia memberi tawaran lebih terbuka dan langsung: "Massage.. massage.. sex... sex...?" Karena waktu yang memang terbatas, udara yang dingin dan hujan yang makin deras, saya akhirnya memutuskan kembali ke hotel untuk sarapan. Ketika pengalaman itu saya sampaikan ke rekan-rekan wartawan sambil makan pagi, sejumlah rekan kemudian mencoba membuktikannya. Ternyata tawaran menggoda itu tak mereka dapatkan. Pagi hari berikutnya, mereka mencoba menyusuri jalan yang sama tetapi waktunya sudah lebih siang. Pengalaman itu tak juga mereka dapat. Entah kenapa bisa begitu. Mungkin saya saja yang lagi "beruntung", atau karena para perempuan muda itu memang hanya memanfaatkan sisa malam sebelum lalu lalang warga Tokyo mulai ramai. Siapa tahu masih ada pria nyasar yang bisa direngkuh di pagi nan dingin... Entahlah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H