Lihat ke Halaman Asli

Santi Lisnawati

Ibu rumah tangga, dosen. Boleh berbagi tentang pendidikan

Akad Nikah Sakral dan Sederhana

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14204247751555454580

AKAD NIKAH SAKRAL DAN SEDERHANA

Gambar: fuh.my

Empatis mengurai keangkuhan dari memahami orang lain. Peristiwa yang sama dimaknai orang tidak pernah sama, namun saat kita mampu merasakan apa yang ada dalam batin seseorang rasanya, kita bisa rasakan dan melihat mata dan hati yang basah karena peristiwa yang dialami.

Aku baru saja diajak undangan ke rumah salah seorang saudara dari nenek. Sampai di tempat undangan, tepat waktu zuhur. Setelah menikmati makan, anakku meminta mencari mesjid. Ternyata tidak jauh dari tempat undangan itu ada mushola, yang lumayan cukup besar. Air yang melimpah, jernih dan dingin, ah mirip air dalam kulkas. Pantaslah ini di daerah kaki gunung salak dan sedang musim hujan pula.

Terasa nyaman untuk melepas penat dan lelah. Menikmati sujud dengan hembusan angin dari sawah. Terasa wisata bathin. Namun tiba-tiba di sebelah mushola, ruangan majlis, terdapat suara ajakan dan pengumuman dengan mengunakan pengeras suara, ternyata sedang memanggil para jama’ah karena hendak dilangsungkannya pernikahan. Ternyata tempat undangan yang aku datangi, baru hendak langsungkan akad nikah pukul 13.00.

Selepas shalat, aku dan keluarga singgah di ruang sebelah mushola. Telah banyak yang berkumpul dari kedua mempelai. Peristiwa yang sakral dan terlihat sederhana. Orang tampak duduk khidmat mendengarkan pembukaan akad. Tetapi karena aku bersama balita, tentu tidak bisa hening tanpa suara.

Suara anakku seolah memecah keheningan, kebisuan, dan ketegangan mempelai yang hendak menikah. Saat anakku  bersuara, ‘mama gambar mana?’ orang-orang menoleh ke belakang tempat kami duduk.

Di tempat manapun berada menikah itu yang penting rukun nikahnya terpenuhi. Ada mempelai laki-laki, perempuan, dua orang saksi, wali dan akad. Bukan tempat yang mewah dan megah, atau hingar bingar pesta yang meriah yang membuat syahnya pernikahan.

Lepas akad nikah diucapkan dengan suara yang tegas dan jelas. Serentak para hadirin membalas ‘syah’. Kata yang hanya diucapkan beberapa kalimat, selaksa melepas kerumitan, bahwa sesungguhnya itulah menikah. Dengan ucap kata yang tidak lebih dari 5 menit telah menghalalkan yang tadinya rumit dan haram. Melepas status yang tadinya anak tanggungan seorang ayah, kini berpindah kepada seorang suami. Melepas status yang tadinya lajang mejadi menikah.

Status yang dipersepsi bagi siapa pun yang hadir, akan memberi makna tersendiri. Saat kulihat raut wajah kedua orangtua mereka,  nampak air mata yang terbendung, dan perlahan tetes air mata jatuh tidak tertahan. Keharuan dan bahagia ada dalam wajah kedua orangtua itu, mungkinkah orangtua itu berpikir bahwa anak yang dilahirkan, dibesarkan, kini tumbuh dewasa, menapaki perjalanan bersama orang yang dicintainya. Aku pun melihat mata yng berkaca dari anak putrinya yang entah apa yang dipikirkan, tentunya bahagia.

Sulit terucap kata, aku pun bisa merasakan makna tangis yang terlihat pada mereka. Sesungguhnya teramat halus rasa yang ada dalam hati-hati setiap orang, saat melihat kebaikan dan kebahagian itu menyelimuti.

Bogor, 04 Januari 2015.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline