Lihat ke Halaman Asli

Komunikasi Pajak

Diperbarui: 17 September 2016   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saya sedang belajar tentang pelaporan pajak.  Berniat menjadi wajib pajak yang baik, ceritanya. Mumpung sedang ada wacana seputar Tax Amnesty…..eeehh jadi tahu bahwa profesi saya itu digolongkan sebagai penyedia jasa pekerjaan rumah tangga (kira-kira begitu tulisannya). Sepertinya sama dengan Pembantu Rumah Tangga mungkin ya? Padahal saya adalah penyedia jasa konsultan komunikasi dan pengajar komunikasi.  Teman saya rupanya juga pernah dikategorikan ‘ngawur’ seperti itu. Profesi dokter masuk ke kategori Polisi. Profesi konsultan masuk kategori petani. Ya kalau hanya salah ketik sih tidak masalah, namun jika implikasinya hingga ke urusan pemotongan, denda, sanksi pajak kan ‘modar’?? Belum lagi kebayang mengurus pembetulan kategori profesi yang belum bisa dipastikan bakal cepat dan murah…..

Pengalaman ini menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Upaya Tax Amnesty ini adalah upaya baru yang skalanya besar pastinya. Karena yang disasar adalah orang-orang dengan kekayaan besar yang banyak disimpan di luar negeri, yang sedang diupayakan agar ‘dibawa pulang’ kira-kira begitu ya? Meskipun peluang permohonan pengampunan pajak ini bisa juga dinikmati oleh wajib pajak yang biasa dan kecil seperti saya. Semangat melaporkan apa yang dimiliki secara jujur dan transparan adalah yang ingin saya usung sebenarnya. Saya yakin itu juga semangat yang mendasari kebijakan permohonan pengampunan pajak ini.

Masalahnya, persepsi yang sekian lama terbentuk di benak kantor pajak dan di benak wajib pajak memang masih tidak sinkron dan belum pernah ada upaya strategis untuk memperbaikinya. Di mata wajib pajak, petugas pajak itu hobinya mengintimidasi dan mencari peluang untuk bisa mendapatkan banyak potongan pajak demi mencapai yang ditargetkan atasan mereka. Sementara di mata petugas pajak, banyak wajib pajak yang hobinya ngemplang pajak dan berkelit supaya tidak bayar. Belum lagi keluhan warga pada umumnya yang merasa sudah membayar pajak namun jalan berlubang dibiarkan begitu saja dalam waktu lama. Pelayanan publik yang rentan pungli. Proses administrasi yang lama, berbelit dan ujungnya salah (Saya masih merasa masygul soal profesi konsultan yang tercantum sebagai pekerjaan rumah tangga tadi…) Belum lagi banyaknya informasi yang sebenarnya menguntungkan wajib pajak namun tidak pernah secara massif, terukur dan berkala disosialisasikan oleh kantor pajak. Belum terlihat secara konkret ada ‘keikhlasan’ menyampaikan dengan niat membuat semua menjadi jelas. Misalnya, peraturan tentang Self Assesment atau pelaporan mandiri. Atau bahwa semua komunikasi antara wajib pajak dan petugas pajak itu berdasarkan dokumen tertulis, jadi kalau lisan sudah pasti tidak valid. Atau kesempatan menyampaikan pembetulan pelaporan pajak. Itu hal-hal yang juga saya baru tahu. Itupun kebetulan saya berteman dengan seorang konsultan pajak. Bisa jadi upaya menyampaikan hal-hal ini sudah dilakukan, namun upaya komunikasi itu kan memang harus terus menerus, melalui semua medium, mengukur efektifitasnya, kemudian membekali para petugasnya dengan keterampilan artikulasi pesan, bahasa tubuh yang positif, menerjemahkan istilah-istilah tehnis dengan metafora atau ilustrasi. Apakah itu semua sudah dilakukan secara kontinyu dan tampak? Kalau belum, bisa dipahami wajib pajak belum merasa perlu melaporkan dengan jujur dan transparan. Sebaliknya, ada pencatatan yang keliru atas suatu profesi bisa jadi adalah dampak dari perubahan besar-besaran di kantor pajak yang sedang terjadi saat ini. Atau masih adanya petugas-petugas pajak yang berperilaku dengan cara-cara lama, intimidasi, tidak terbiasa menyerahkan surat tugas atau surat pemeriksaan, dsb.

Kembali ke upaya Tax Amnesty. Jika upaya ini dicanangkan oleh pemimpin tertinggi berarti seluruh jajaran di tingkat bawahnya mutlak membekali diri dengan pemahaman yang sama, semangat yang sama, niat yang sama, lalu merencanakan sistem komunikasi internal yang direncanakan dan diukur sebelum dijalankan. Setuju? 

Soalnya jika pemimpin tertinggi saja yang punya visi dan misi namun tidak ada upaya mengomunikasikannya ke jajaran bawahnya, bayangkan betapa besarnya distorsi pesan dari level ke level? Belum lagi ada hambatan perbedaan persepsi seperti yang saya tulis di atas. Bahwa terlihat Presiden sendiri ‘turun’ untuk mengawal sosialisasi ini sangat saya hargai. Namun beliau tidak bisa melakukan ini ‘sendirian’, semua pemimpin di semua jajaran juga harus melakukan hal yang sama. Itu upaya komunikasi konkret.

Jika ada inisiatif dari para pemimpin pajak di Negara ini untuk melakukan perencanaan komunikasi yang terukur dan dilakukan secara kontinyu oleh semua jajarannya, niscaya tidak akan ada lagi warga yang takut membayar pajaknya, dan tidak akan ada lagi petugas pajak yang  ujungnya harus mati mengenaskan karena dikeroyok saat sedang melaksanakan tugasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline