[caption caption="Arie Smit bersama Suteja Neka"][/caption]
“Arie Smit meninggal pada Hari Rabu malam, 23 Maret 2016, pukul 20.30, di Rumah Sakit Puri Raharja….” Ujar Pande Wayan Suteja Neka. Jasad beliau disemayamkan di Rumah Sakit Angkatan Darat, dilanjutkan dengan doa kebaktian dan kremasi di Krematorium Kristen di Mumbul pada hari Kamis, 24 Maret 2016. “Ini sesuai dengan permintaan Smit, yang menyatakan dia terlahir sebagai Kristen dan ingin meninggal juga sebagai pemeluk Kristen”, Pande Wayan Suteja Neka bertutur mengenai sosok Arie Smit.
Arie Smit, terlahir dengan nama Adrianus Wilhelmus Smit tahun 1916, bulan April tanggal 15 di negeri Kincir Angin, Belanda. Beliau meninggal tanggal 23 Maret 2016, 23 hari lagi menjelang ulang tahunnya ke seratus…….
Jenasah beliau disemayamkan di rumah duka Rumah Sakit Angkatan Darat. Doa kebaktian menurut agama Kristen dilakukan pada hari Kamis, 24 Maret 2016. Seusai doa kebaktian, jenasahnya dibawa menuju Krematorium Kristen di Mumbul untuk dikremasi, dan abunya dilarung di Pantai Matahari Terbit yang terletak di Sanur.
Pande Wayan Suteja Neka menjelaskan, almarhum selama empat tahun terakhir mengalami kelumpuhan dan buta sehingga tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa.
[caption caption="Arie Smit bersama Suteja Neka"]
[/caption]
“Bu Santi, tahukah makna persahabatan sejati? Bisa saling menguatkan dan berjalan dengan tulus…” Pande Wayang Suteja Neka bertutur tentang makna persahabatan beliau dengan sosok Arie Smit. “Persahabatan kami adalah karena adanya persamaan apresiasi terhadap kebudayaan. Budaya, khususnya seni, merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara, dikembangkan dan diwariskan bagi anak cucu, sehingga kita bisa memiliki roh, jiwa, semangat, taksu, dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari”.
Buku berjudul Arie Smit Memburu Cahaya Bali karya Putu Wirata, Hartanto, Garret Kam (1996, hal. 15) menjelaskan Arie Smit sudah tinggal di Villa Sanggingan, milik Suteja Neka, semenjak bulan Juni tahun 1991. Semenjak menerima Anugrah Seni “Dharma Kusuma” dari Pemda Provinsi Bali pada tahun 1992, 14 Agustus, Arie Smit memutuskan tinggal seumur hidup di Villa Sanggingan. Arie Smit menggambarkan hubungannya dengan Suteja Neka bagaikan hubungan orang tua dan anak yang membimbing dan mengarahkan, juga memotivasi demi kemajuan kehidupannya.
Secara pribadi, Arie Smit kagum pada Suteja Neka yang berjuang gigih membangun museum dengan biaya sendiri, tanpa bantuan pemerintah, dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan. Betapa Suteja Neka merintis pendirian museum untuk mengoleksi karya seni rupa tradisional dan kontemporer, mengumpulkan berbagai karya seni dan menjadikan museumnya sebagai tempat dalam mempelajari sejarah perkembangan aliran seni tradisional, dari yang klasik hingga terkini, juga aliran kontemporer. Karena kecintaannya pada Museum Neka, Arie Smit tidak segan untuk menyumbangkan berbagai karya seninya bagi museum ini.
[caption caption="telah tiada"]
[/caption]
Arie Smit percaya bahwa seni bisa menggugah semangat dan cinta dalam diri seseorang, baik mencintai diri sendiri, mencintai lingkungan di mana dia berada, dan belajar menghargai perbedaan yang ada. Seni mampu mendorong taksu yang ada di dalam diri, untuk hadir dalam berbagai aktivitas hidup masyarakat Bali, dalam bentuk semangat untuk terus berkarya dan mengembangkan bakat seni masing-masing.