Lihat ke Halaman Asli

Santi Titik Lestari

Mari menulis!!

Dilema Seorang Ibu, Antara Bekerja dan Mengurus Anak

Diperbarui: 3 Oktober 2016   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Shutterstock

Sejak Kartini mendengungkan mengenai emansipasi wanita, mulailah wanita Indonesia eksis di berbagai bidang. Tak lagi hanya mengerjakan urusan dapur, tetapi urusan politik pun sudah banyak dicicipi beberapa wanita Indonesia yang memang antusias di bidang ini. Emansipasi memang menjadi kabar gembira bagi wanita Indonesia. Akan tetapi, emansipasi ini sedikit membuat gejolak dalam beberapa bidang kehidupan, misalnya keluarga.

Ibu yang Bekerja

Hampir setiap ibu, yang notabene juga seorang pekerja, pasti mempunyai dilema yang sama. Dilema terkait bekerja dan mengurus anak. Seorang ibu memiliki tanggung jawab mengurus anak-anaknya. Seorang wanita yang bekerja memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Memang hal ini wajar. Yang kadang menjadi tidak wajar adalah ketika seorang ibu hanya mementingkan bekerja dibanding mengurus anak. 

Seorang ibu yang bekerja memang baik, dengan beberapa alasan berikut ini: membantu menyokong perekonomian keluarga, mengembangkan bakat/talenta, menolong/melayani orang lain, bahkan sebagai pengisi waktu luang di sela-sela mengurus anak. Tak menjadi soal seorang ibu bekerja, asalkan tanggung jawab sebagai seorang ibu sudah dipenuhi. 

Kadang-kadang, seorang ibu terpaksa lebih memilih bekerja daripada mengurus anak karena tuntutan ekonomi keluarga, adanya panggilan hidup untuk terus terlibat dalam sebuah perusahaan/yayasan/pelayanan, atau mengembangkan talenta.

Sering kali, seorang ibu yang bekerja harus memiliki mental yang kuat. Kebanyakan orang memiliki keinginan untuk berkomentar, termasuk berkomentar akan urusan anak. Mungkin sesekali terdengar celetukan, "Kerja terus. Kerja terus. Anak tidak diurusi" atau "Anak dititip-titipkan, ibunya asyik cari uang." 

Pada kenyataannya, memang anak pasti dipercayakan ke kakek-nenek, mertua, tempat penitipan anak, bahkan tetangga, dan tak jarang sudah disekolahkan ketika si ibu akan bekerja. Ketika dipercayakan ke orangtua (kakek/nenek) atau mertua, seolah-olah semuanya aman, terkendali, tak perlu biaya mahal, pasti anak akan dirawat dengan baik, padahal ada hal penting yang kita harus cermati, yaitu tentang karakter dan pertumbuhan anak.

Dampak bagi Anak

Tidak ada kakek/nenek yang tidak ingin memanjakan cucunya. Tidak ada kakek/nenek yang ingin mendengar tangisan cucunya, apalagi itu cucu pertama. Apa pun yang diminta cucu pasti akan dipenuhi, yang penting cucu tidak menangis. Kalau sudah menjadi pola, perkembangan otak dan daya memori anak yang makin bertumbuh dan kuat akan membuatnya terlatih untuk menangis, merengek, bahkan menjerit kalau dalam waktu tertentu permintaannya tak dikabulkan. 

Dengan "senjata" merengek, menangis, lalu menjerit, anak pasti akan mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Apa dampak bagi orangtua si anak? Orangtua si anak akan kewalahan menghadapi sikap anaknya yang mulai terlatih untuk menangis dan menjerit saat meminta sesuatu. Bahkan, parahnya, tak peduli itu di rumah atau di tempat umum. Ini hanya salah satu contoh. Belum lagi hal yang lain, seperti kebiasaan makan (ada yang sampai di pinggir jalan makannya), kebiasaan tidur, bermain, dll.. 

Dampak bagi Ibu

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline