Sekilas Mengenai Hukum Perdata Indonesia
Berbicara mengenai Hukum Perdata Indonesia, tentu ingatan kita akan kembali ke masa pendudukan Pemerintah Kolonial Belanda. Mengapa demikian? Sebab Pemerintah Kolonial Belanda meninggalkan 2 (dua) buah hukum yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini, yaitu yang pertama adalah Hukum Pidana, dengan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan sejak tahun 1916 dan yang kedua adalah Hukum Perdata, dengan diberlakukannya Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sejak sekitar tahun 1917.
Bahwa sebenarnya Hukum Perdata Barat (BW) merupakan turunan atau bahasa kasarnya meniru dari Hukum Perdata Perancis, yang dikenal dengan istilah Code Napoleon yang juga sebenarnya Hukum Perdata Perancis meniru dari hukum yang berlaku pada jaman Romawi, yang disbeut dengan Corpus Juris Civilis. Dan Hukum Perdata Belanda (BW) tersebut yang kemudian diberlakukan di wilayah jajahan Belanda, khususnya di Indonesia.
Di jaman kolonial Belanda, BW tersebut diberlakukan khusus kepada orang-orang Belanda dan/atau orang Eropa, juga kepada orang-orang Timur Asing (China, Jepang dan Korea) dan kepada orang-orang Timur Tengah (Arab dan Afrika) yang tinggal di Indonesia. Sedangkan orang Indonesia, diberlakukan Hukum Adat yang ada di wilayahnya masing-masing.
Hal inilah yang menyebabkan banyak orang Indonesia yang dirugikan khususnya ketika harus berhadapan dengan orang-orang yang menganut Hukum Perdata Barat (BW). Kenapa bisa demikian? Karena pada dasarnya Hukum Adat tidak mengenal pembuktian secara tertulis mengingat karena masih minimnya kemampuan membaca dan menulis pada masyarakat Indonesia saat itu, sedangkan Hukum Perdata Barat (BW) mensyaratkan pembuktian secara tertulis dan mengesampingkan pembuktian secara lisan (keterangan saksi). Sehingga betapa kuatnya bukti kepemilikan keperdataan oleh orang Indonesia, karena masih didasarkan pada pembuktian secara lisan, contohnya kata mbah saya, lahan itu milik mbah saya yang diwariskan kepada ayah saya, ketika harus berhadapan dengan Hukum Perdata Barat (BW), tentu orang-orang Indonesia akan kalah dan tidak bisa membuktikan kepemilikannya.
Saat ini, BW (Burgerlijk Wetboek) masih diberlakukan di Indonesia sebagai dasar hukum bagi penerapan Hukum Perdata, meskipun secara perlahan, sedikit demi sedikit ketentuan dalam BW mulai diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Misalnya saja, kita ambil 1 (satu Undang-Undang, yaitu ketentuan tentang Hukum Perkawinan, diatur dala Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Demikian juga mengenai ketentuan yang mengatur tentang Perusahaan, yang telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Dan, yang paling fenomenal adalah ketentuan mengenai pertanahan atau agraria yang telah diudangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrria (UUPA).
Selain beberapa Undang-Undang yang disebutkan diatas, tentu saja masih banyak lagi Undang-Undang lain yang dibuat dan diundangkan dengan tujuan untuk mengganti ketentuan dalam BW atau setidaknya mengisi kekosongan hukum yang tidak diatur dalam BW. Sebab, bagaimanapun bagusnya ketentuan dalam BW, tetap saja ketentuan tersebut adalah buatan Pemerintah Kolonial Belanda yang baik langsung maupun tidak langsung, tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan kekerabatan dan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan setiap permasalahan di bidang keperdataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H