Pagi itu, seperti pagi-pagi biasaku sebelumnya, aku mulai dengan aktivitas yang biasa juga. Membuka mata dan beranjak melakukan rutinitasku, karena jika menyebutnya kewajiban rasanya terlalu kaku dan tidak biasa. Tidak ada yang begitu istimewa. Sampai setelahnya, seperti biasa akupun "bercinta" dengan dia, cintaku..
Iya, namanya Abhi, panggilan sayangnya DeAbhi, kalau ditanya abhi siapa, dia suka dengan keras bilang ABHIMAAAA, yang sebenarnya adalah Abhirama. Ya maklum saja, masih dalam rangkaian usaha belajar bicara. Usianya terpaut lumayan jauh dariku, sekitar 27 tahun dan aku sangat mencintainya.
Iya, dialah anakku, buah karya yang dititipkan bapaknya dimalam yang indah itu. Dialah anugrah. Jawaban dari segala doa. Sesungguhnya dia tidak penting, tapi teramat penting bagiku.
Iya, sekarang sudah waktunya kembali kesaat aku "bercinta". Kali ini dia yang malah tidak begitu biasa. Ada gaya baru yang dia lakukan. Tentu saja, seperti biasa aku hanya memperhatikan, sambil memastikan kalau inovasinya itu tidak mengandung unsur berbahaya.
Iya, dia mengambil sandal. Bukan sandalnya saja, tapi sandal semua warga di rumah. Aku awalnya heran dan tentu saja penasaran tentang apa yang akan ia lakukan. Dengan kegigihannya dia menumpuk-numpukkan sandal itu satu demi satu. Tidak selesai sampai disitu, kemudian dia mengambil sepeda merah kesayangannya dan menabrak lalu melewati gundukan sandal yang ia buat tadi. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya iapun berhasil dan bertepuk tangan sambil melihatku sembari berteriak HOYEEE, yang aku pahami maksudnya adalah hore.
Iya, matanya yang sumbringah itu membuatku bahagia. Membuatku merasakan cintaku "tak bertepuk sebelah tangan". Bahagianya adalah bahagiaku. Meski sandal-sandal itu jadi berantakan tidak pada tempatnya. Meski aku sedikit cemas mertuaku akan marah karena rumah jadi tidak rapi seperti biasanya. Tapi sekali lagi, ia menumpukkan kembali sandal-sandal menjadi yang ia katakan nung, yang maksudnya adalah gunung, lalu mengambil sepeda dan membuat roda sepedanya melindas gunungan sandal itu, dan lagi berteriak hoyeee. Riakan itu membuatku yakin bahwa mertuaku tak akan marah.
Iya, aku senang melihat gaya barunya. Aku sengaja membiarkannya, karena bagiku ia tidak hanya sedang bermain sepeda-sepedaan gunung atau bermain gunung-gunungan sandal. Tapi lebih.. Lebih dari itu.. Dia sedang belajar.
Iya, dia sedang belajar tentang kelemahan dan kekuatannya. Dia sedang belajar tentang kekurangan dan kelebihannya. Dia sedang belajar tentang kesempurnaannya menjadi manusia biasa dengan ketiadasempurnaannya.
Iya, dia sedang belajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H