Epidemi Coronavirus yang terjadi di Indonesia mau tidak mau membuat pemerintah memutuskan agar sekolah diliburkan sampai batas waktu yang belum ditentukan sehingga para siswa menempa pendidikan melalui metode jarak jauh maupun mengikuti program televisi "Belajar dari Rumah" di stasiun TVRI.
Imbasnya benar-benar terasa, beberapa pekan sekolah diliburkan segelintir orang tua mulai mengeluh dikarenakan dikala mereka sibuk oleh aktivitas sehari-hari, kini tugas mereka pun jadi bertambah dengan menggantikan peran Guru di sekolah untuk membimbing anak mereka menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
Tak ada lagi banyak bangga-bangga posting soal membantu tugas anak berseliweran di media sosial, karena hal tersebut layaknya sudah menjadi makanan sehari-hari terkecuali tanggal merah maupun akhir pekan. Berkeluh kesah pun tidak akan membantu karena wabah Coronavirus membuat para orang tua harus gigit jari menerima kenyataan anak-anak mereka akan tetap belajar di rumah entah hingga kapan.
Menanggapi fenomena diatas bisa dikatakan cukup menarik melihat perubahan tingkah laku para orang tua mendapati situasi kondisi anak mereka harus bersekolah di rumah. Bilamana mereka sebelumnya fokus kepada fungsi pendidikan intern merujuk pada kepribadian dan rohani anak, maka tugas mereka bertambah dimana orang tua kini turut serta bertanggungjawab kepada fungsi pendidikan ekstern yang anak dapatkan di sekolah.
Bisa dikatakan hal ini sangatlah berbeda sekali dengan kondisi orang tua-orang tua zaman dulu atau istilahnya jadul dalam upaya menjadikan agar anaknya menjadi orang berhasil atau sukses.
Jika merujuk kepada situasi kondisi orang tua zaman dulu, dunia pendidikan tentu tidaklah semodern sekarang yang apa-apanya serba perangkat canggih hingga jaringan internet. Hanya segelintir anak yang beruntung dapat merasakan bangku pendidikan.
Beralaskan tikar bambu, sabak dan perangkat menulis, serta penerangan seadanya, anak-anak mereka belajar sendiri bukan disebabkan keengganan orang tua untuk membantunya melainkan keterbatasan pendidikan orang tua kala itu memaksa anak-anak mereka agar bisa mandiri dan menerima keadaan.
Himpitan ekonomi serba pas-pasan, makanan yang tidak memenuhi standar gizi, sampai kepada belasan anak (saudara sekandung) jumlahnya tidak mengendorkan semangat orang tua agar anaknya sukses. Perih hasil banting tulang para orang tua pun seiring waktu terbayarkan dimana satu demi satu anaknya dapat berkehidupan layak, mencapai cita-cita mereka, hingga ada yang menjadi seorang pejabat.
Lantas meninjau dari situasi kondisi yang ada dimana orang tua "zaman now" mayoritas merasakan keadaan yang jauh lebih baik daripada orang tua zaman dahulu seperti merasakan bangku pendidikan dan mampu mencapai derajat setinggi-tingginya, makanan dengan kadar gizi jauh lebih baik, dan sarana prasana yang memadai maka pertanyaannya adalah apakah kualitas para orang tua zaman now memang menurun?
Mungkin saja ketika para orang tua zaman now mengeluh kepada Bapak Ibu mereka maka keduanya hanya akan tertawa betapa ironisnya kondisi anak mereka menghadapi sang cucu yang masih duduk di bangku sekolah.
Mereka mengernyitkan dahi tatkala anaknya beralasan zaman telah berubah dan tantangannya pun berbeda. Bapak dan Ibu Anda mungkin akan merasa aneh dan bertanya-tanya tak mengerti kenapa dikala sekarang kondisi jauh lebih baik justru membuat keadaan semakin susah?