Lihat ke Halaman Asli

Reno Dwiheryana

TERVERIFIKASI

Blogger/Content Creator

Ganja Minim Manfaat dan Ciptakan Generasi Teler

Diperbarui: 4 Februari 2020   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tumbuhan ganja (Kompas)

Kontroversi legalisasi ganja kembali bergulir ketika anggota DPR Komisi VI Rafly Kande dari Fraksi PKS mengemukakan usulan agar ganja jadi komoditas ekspor. Rafly menjelaskan bahwa produk ganja dapat dipasarkan ke beberapa negara yang membutuhkan karena ganja memiliki nilai manfaat tinggi, terutama untuk bidang medis. Ia pun mengklaim kalau tumbuhan ganja pada dasarnya tidak haram menurut agama, ganja dinyatakan haram bilamana disalahgunakan.

Apa yang dikemukakan oleh Rafly segera mengundang polemik tak terkecuali dari partainya, PKS. Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengaku telah menegur anggotanya itu. Ia menyebut bahwa pernyataan Rafly merupakan pernyataan pribadi bukan mewakili sikap partai. Jazuli menegaskan PKS selama ini aktif memerangi narkoba.

Pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) pun menyesalkan dengan apa yang dikemukakan oleh Rafly. Melalui Kepala Biro Humas dan Protokol Brigjen Sulistyo Pudjo menjelaskan bahwa cara pandang legislator Aceh itu terkesan belum memahami maksud pendirian bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga perdamaian di dunia.

Ia pun menjelaskan karena amanah UUD 1945 tadi, Indonesia ikut serta dalam pertemuan dalam The Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961. Dimana menjadi salah satu negara yang meratifikasi pada Pasal 1 yang menjadi salah satu yang dilarang adalah ganja, baik batang, akar, daun, minyak kemudian turunan ekspornya.

Menanggapi polemik akan legalisasi ganja, menurut Penulis sebenarnya banyak informasi yang tidak diketahui publik mengenainya.

Bahwa benar, tanaman ganja atau marijuana atau nama latinnya Cannabis Sativa ini diperbolehkan di beberapa negara, seperti Uruguay, mayoritas negara bagian di Amerika, Chile, Kolombia, dan sebagainya. 

Namun perlu digarisbawahi bahwa setiap negara memiliki maksud tertentu dan peraturan yang berlaku terhadap legalisasi ganja tersebut. Dengan kata lain, penggunaan ganja tidak sebebas apa yang dikira karena penggunaannya masih diawasi oleh otoritas pemerintah dan pihak-pihak yang menyalahi aturan akan dikenai sanksi hukum tegas.

Prihal tumbuhan ganja untuk bidang medis pun perlu diklarifikasi. Di Amerika, Badan Pangan dan Obat-obatan mereka atau FDA  hanya menyetujui ganja untuk pengobatan dua bentuk epilepsi yang langka dan parah seperti sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut. 

Sindrom Dravet adalah epilepsi langka pada balita dan anak-anak yang menyebabkan kejang dalam jangka waktu yang lama dan tidak dapat diatasi oleh obat. Sedangkan sindrom Lennox Gastaut adalah epilepsi langka pada balita dan anak-anak yang menyebabkan kejang bersamaan disfungsi kognitif (kemampuan pada otak).

Lantas mengapa belum banyak penelitian dilakukan pada tumbuhan ganja? Bukan karena hanya peneliti yang memiliki lisensi khusus yang dapat mempelajarinya. Salah satu alasannya ialah karena pada umumnya Badan Narkotika menilai ganja sebagai obat golongan 1, sama seperti  heroin, Lysergic acid diethylamide (LSD), dan ekstasi, dimana  kemungkinan akan disalahgunakan dan kurang dalam nilai medis.

Secara kesimpulan, tumbuhan ganja manfaat dalam bidang medis hingga saat ini masih dalam proses penelitian. Namun secara jelas bahwa tumbuhan ganja di beberapa negara dijadikan komoditi untuk dapat di konsumsi publik lebih kepada sisi ekonomi semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline