Lihat ke Halaman Asli

Reno Dwiheryana

TERVERIFIKASI

Blogger/Content Creator

Makna dari Toleransi Umat Beragama

Diperbarui: 28 November 2019   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbedaan itu Indah via steemkr.com/@meudrat

Setiap pemeluk agama pasti menyatakan bahwa agama yang dianutnya adalah yang terbaik. Eit jangan baper dahulu, pada kenyataannya memang demikian.

Dalam praktiknya seseorang mengakui bahwa agama yang dianutnya lebih baik adalah hal yang manusiawi. Karena sejatinya semakin orang mendalami ilmu agamanya maka ia semakin yakin ia berada di jalan yang benar. Namanya juga "keyakinan", Anda menikah saja yakin dengan pilihan pasangan Anda. Kalau tidak, mungkin Anda berada dipelukan yang lain.

Sejatinya keyakinan itu bukan layaknya baju dimana berganti hari maka ganti pula bajunya. Logikanya jika Anda ingin pergi ke Bandung maka Anda mengikuti jalur yang dituju, bukan malah ke arah lokasi yang berbeda. Kenapa? Ya karena setiap agama memiliki jalur masing-masingnya.

Lepas dari itu, Penulis yang berparas mirip ras Tionghoa sebenarnya lahir dari orangtua berdarah Sunda dan sebagai Muslim atau beragama Islam. Mata sipit mengenakan kacamata ini memang dipengaruhi faktor genetik dimana sejak duduk di bangku TK Penulis wajib mengenakan kacamata minus.

Acapkali impresi orang yang baru mengenal Penulis selalu mengatakan bahwa Penulis merupakan keturunan Tionghoa. Hal itu tidak menjadi masalah, bahkan ketika gejolak ekonomi di tahun 1998 Penulis yang ketika itu masih SMP tetap aman-aman saja sekalipun aksi penjarahan dan pembakaran terjadi di sekeliling tempat Penulis tinggal.

Beranjak ke masa kuliah, ada sebuah kejadian lucu pernah Penulis alami. Dikala sedang mendaftar masuk sebuah Universitas, Penulis hendak shalat Dzuhur dan menanyakan ke seorang Satpam kampus dimana lokasi Mushola.

Justru pertanyaannya Penulis itu disambut keanehan oleh Satpam yang malah bertanya balik, Adek ini Muslim? Penulis pun menjawab, ya Pak, Saya Muslim. Satpam itu pun lalu menunjukkan lokasi Mushola berada.

Apa yang Satpam tanyakan itu bukan karena faktor SARA. Penulis sangat memaklumi karena Universitas yang Penulis daftar adalah Universitas dimana mayoritas mahasiswanya Non Muslim dan keturunan Tionghoa.

Dengan paras serupa maka Penulis dapat dengan leluasa bergaul dengan mereka. Walau demikian Penulis mengakui diri Penulis apa adanya, namun hal tersebut tidak mempengaruhi hubungan persahabatan yang terjalin saat masa kuliah sampai sekarang.

Justru perbedaan tersebut membuat hubungan diantara kami saling mengerti. Penulis yang seorang pribumi dan Muslim kerap berdiskusi dengan kerabat keturunan Tionghoa dan Non Muslim, toh diskusi biasa-biasa saja, tidak ada konflik, dan kami bisa saling menghormati keberagaman antara satu dengan yang lain.

Ada sebuah pengalaman menarik ketika Penulis berkunjung ke rumah kerabat yang merupakan keturunan Tionghoa dan Non Muslim. Saat jam makan siang, si empu rumah mengajak Penulis dan teman lainnya menuju meja makan. Hidangan pun telah tersedia, semangkuk besar pangsit basah yang siap menggoda lidah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline