Sebagaimana kita ketahui bersama, beberapa waktu lalu Menko Polhukam Wiranto tertimpa musibah dimana ia dan beberapa orang didekatnya kala itu menjadi korban penusukan yang dilakukan oleh orang tak dikenal usai meresmikan gedung di sebuah Universitas di Pandeglang, Banten.
Setelah mendapatkan perawatan di wilayah setempat, mantan Panglima TNI tersebut dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto untuk segera penanganan medis menggunakan helikopter.
Kedua pelaku penyerangan tersebut SA dan FA langsung dibekuk di tempat kejadian berlangsung. Pihak aparat berwajib pun kini sedang menelusuri motif pelaku serta menyelidiki lebih lanjut apakah keduanya terpapar radikalisme. Kedua pelaku pun terancam sanksi pasal berlapis, baik percobaan pembunuhan dan penganiayaan serta apabila pelaku terbukti merupakan jaringan dari sindikat terorisme maka ia pun dapat dijerat UU Terorisme.
Tentu peristiwa penusukan yang dialami Menko Polhukam Wiranto mengejutkan publik. Kejadian yang baru pertama kali ini menimbulkan pertanyaan bagaimana mungkin seorang pejabat negara hidupnya bisa sampai terancam, bukankah seharusnya ada prosedural pengamanan yang berlaku bilamana seorang pejabat negara sedang berkunjung?
Namun musibah tersebut menurut pandangan Penulis bisa saja terjadi bukan dikarenakan cacat prosedural pengamanan maupun lalainya petugas yang menjaga, melainkan bisa juga disebabkan oleh permintaan pejabat negara kepada protokoler agar ia bisa lebih leluasa semisal untuk dapat menyapa warga sekitar.
Inilah momentum yang dimanfaatkan oleh pelaku, dengan memanfaatkan kelonggaran keamanan ia dapat melakukan aksinya itu.
Membahas musibah yang menghampiri Wiranto menurut Penulis cukup menarik mengenai seperti apa respon publik. Berita aksi penusukan itu tak hanya mengundang rasa simpati tetapi turut pula mendapatkan beragam respon negatif dari publik melalui media sosial seperti ada yang meragukan musibah tersebut sebagai rekayasa, melontarkan makian bahwa musibah itu sebagai hukum karma, hingga bentuk nyinyiran rasa antipati.
Menanggapi respon negatif publik pun Penulis berpandangan miris dan bertanya-tanya dimana hati mereka? Kenapa demikian, dikarenakan musibah yang terjadi kepada Menko Polhukam Wiranto bisa juga terjadi kepada diri Anda, orang yang Anda cintai, maupun siapa saja. Dan seandainya hal itu terjadi, lantas bagaimana respon Anda mengetahui orang lain malah bersikap antipati terhadapnya?
Dalam agama Islam yang Penulis ketahui mengajarkan bahwa sesama Muslim saling bersaudara dan sesama Muslim melarang menampakkan kebahagiaan ketika seorang muslim mendapatkan musibah.
Orang yang bersuka ria karena saudara Muslimnya tertimpa musibah maka ia akan mendapatkan azab pedih di dunia dan akhirat.