Lihat ke Halaman Asli

Reno Dwiheryana

TERVERIFIKASI

Blogger/Content Creator

Bagaimana Kompetensi KPI dalam Mengawasi Konten Digital?

Diperbarui: 14 Agustus 2019   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PR terhadap kualitas pertelevisian nasional (istock)

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan akan segera memonitor konten dari media digital. KPI mengatakan, pihaknya akan membuat dasar hukum untuk melakukan pengawasan pada konten di YouTube, Facebook, Netflix, atau sejenisnya. - Kompas.com

Beberapa hari ini pemberitaan mengenai niatan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI untuk turut serta memonitor konten digital menyeruak ke publik. Sontak itikad baik KPI ini menimbulkan respon beragam dimana Penulis perhatikan publik mayoritas menolak rencana tersebut. 

Bahkan seorang warganet bernama Dara Nasution membuat petisi "Tolak KPI Awasi Youtube, Facebook, Netflix!" dimana hingga kini petisi yang ia buat telah ditandatangani oleh kurang lebih 55.000 orang (dari target 75.000).

Berbicara soal KPI, lembaga independen yang diusung tahun 2002 ini pada maksud tujuannya ialah untuk mengawasi dan mengatur penyiaran yang diselenggarakan baik oleh lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran komunitas. Dalam konteksnya secara jelas bahwa tupoksi dari sasaran KPI adalah konten seperti halnya pada media radio maupun televisi.

Tentu hal tersebut menjadi pertanyaan, mengapa KPI keukeh ingin mengawasi konten digital yang bisa dikatakan bukan ranah mereka? Kemudian jika KPI ingin mengawasi konten digital, apakah KPI telah melaksanakan fungsinya dengan baik dengan menciptakan atmosfer tayangan yang sehat bagi publik?

Boleh jadi KPI punya banyak alasan teknis dibalik niatan mereka mengawasi konten digital, akan tetapi apakah KPI kompeten menindaklanjutinya? Apakah Sumber Daya Manusia yang ada di KPI punya kapabilitas dalam menilai mana saja konten-konten digital yang mereka kategorikan sehat dan berkualitas?

Pada kenyataannya, mengapa konten digital menjadi pilihan publik bukan saja karena faktor kemajuan teknologi yang mendorong peralihan publik terhadap kebutuhan baik informasi dan hiburan dari media konvesional (radio dan televisi) kepada media sosial maupun media streaming.

Tetapi juga ditenggarai oleh kejenuhan publik terhadap isi konten yang monoton ada pada media konvensional khususnya televisi serta kekecewaan publik kepada kinerja KPI sebagai pengawas dan regulator.

Hal diatas bukan omong kosong belaka. Jika anda para pembaca perhatikan seperti apa konten-konten yang ada pada televisi sekarang? Konten di televisi berisikan media promosi seperti iklan yang overdosis jumlahnya dimana mengusik kenyamanan ketika menonton sebuah acara. 

Konten di televisi didominasi tayangan-tayangan tidak  sehat, tidak berkualitas, dan tidak mendidik seperti tayangan sinetron yang membosankan, tayangan infotainment yang gemar mempertontonkan aib orang serta gaya hiduo hedoisme, talkshow tidak bermutu, dan sebagainya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline