Tentu tak ada manusia yang ingin rumah tangganya bubar atau mengalami istilahnya perceraian, akan tetapi begitulah tantangan ranah berumahtangga bahwa ada yang manusia yang berhasil menjalaninya dan tak jarang ada yang tidak.
Mungkin ini hal yang tidak pernah dibayangkan terjadi oleh sebut saja si A dan si B (diangkat dari pengalaman orang lain). A adalah seorang suami berkeluarga dan dikaruniai 2 orang anak dimana ia digugat cerai oleh istrinya, sedangkan si B adalah seorang istri dikaruniai 3 orang anak dimana ia menggugat cerai kepada suaminya. A dan B bukanlah kerabat apalagi mengenal satu dengan yang lain, tetapi keduanya sama-sama mengalami perceraian dikarenakan satu sebab yang sama yaitu hadirnya orang ketiga.
Ya A digugat cerai sang istri dikarenakan istrinya bertemu dengan seorang pria berstatus suami orang yang merupakan teman lamanya saat di bangku pendidikan, begitu pula dengan si B meminta cerai sang suami dikarenakan ia terpikat oleh pria berstatus suami orang yang juga teman saat duduk di bangku pendidikan. Momentum hadirnya orang ketiga tersebut diawali oleh kegiatan reuni baik istrinya A dan si B hadiri.
Ini sebuah fakta yang terjadi, di era teknologi informasi semakin maju dimana komunikasi kian mudah tak ayal menimbulkan petaka yang tidak diduga-duga. Ragam apps group chat dan medsos menjadi pintu untuk menemukan kerabat-kerabat lama yang terpisahkan oleh waktu dan jarak. Sontak timbul suatu nostalgia dadakan rasa kangen diantaranya, inisiasi untuk saling bertemu maupun kegiatan "reunian" pun menggema. Dibalik motivasi masing-masing individu semisal untuk menunjukkan bahwa dirinya menjadi orang berhasil kepada rekan-rekannya, semua nampak sangat semangat bahwa tali silaturahmi yang telah putus kini dapat tersambung kembali.
Apa yang A dan B alami mungkin sebuah petaka yang tidak direncanakan, siapa yang akan menyangka sebuah kegiatan reunian justru menjadi akhir cerita bahtera rumah tangga yang mereka bangun. Hadirnya orang ketiga seketika melenyapkan kisah kasih diantara orang-orang terdekat dan memupus impian hidup bersama pasangan hingga maut memisahkan.
Latar ekonomi yang serba (berasa) kurang dan timbulnya rasa ketidakbahagiaan dalam berkeluarga semisal adanya konflik memang acapkali dijadikan kambing hitam penyebab mengapa seseorang memilih bercerai dan memutuskan menerima pinangan orang ketiga, namun yang jadi pertanyaan siapa yang akan menjamin kelak keluarga baru dapat hidup serba tercukupi dan mencapai kebahagiaan yang pribadi tafsirkan?
Jika hidup berumahtangga merupakan tantangan hidup sebenarnya, maka bukankah membentuk keluarga yang lebih baru justru lebih sulit? Apakah karena masing-masing dari individu punya pengalaman (pernah) berkeluarga menjadi faktor tingginya probabilitas keluarga baru akan langgeng dan berlangsung seperti apa yang pribadi inginkan?
Berkeluarga itu bukan sebuah probabilitas, berkeluarga itu bukan layaknya anda melempar sebuah koin menanti sisi mana yang akan nampak. Berkeluarga bukan layaknya anda sedang mengenakan baju, dimana baju yang pribadi kenakan tidak cocok maka anda beli yang baru.
Suka dan duka itulah konsekuensi menjalani hidup bahtera rumah tangga, susah senang anda telan bersama-sama dan hal itu semustinya menjadi pengingat serta itikad mengapa pribadi berkeluarga.
Bersyukur, latih keimanan pribadi dan didik dengan baik keimanan keluarga anda. Syukuri nikmat yang Allah telah berikan kepada anda dan keluarga, serta jangan pernah mempermasalahkan nikmat yang Allah belum berikan kepada anda ataupun keluarga.