Seperti kita bersama ketahui Light Rail Transit atau disingkat LRT ramai dibicarakan di tahun politik ini dan menarik perhatian publik. Proyek LRT yang terbagi menjadi 3 yaitu LRT Jakarta (PT. Wijaya Karya Tbk), LRT Jabodebek (PT Adhi Karya Tbk), dan LRT Palembang (PT Waskita Karya Tbk) kerap menimbulkan perdebatan mengenai nilai fantastis proyek yang tak sedikit kalangan elite politik menyatakan kemahalan.
Menanggapi hal tersebut dan rasa "kepo" Penulis yang sekadar orang awam ini pun tak ragu untuk menerima ajakan dari seorang kerabat Kompasianer untuk mengikuti acara diskusi LRT yang berlangsung di Gedung Kompas Gramedia pada 13 Februari 2019 lalu.
Acara ini diselenggarakan oleh Koran Warta Kota bertajuk Pembangunan LRT Jabodebek dan Sumsel Untuk Siapa? Turut hadir sebagai narasumber diantaranya Bpk. Ir Zulfikri (Dirjen Perkeretaapian Kemenhub), Bpk. Budi Harto (Dirut PT Adhi Karya), Bpk. Joko Setyo Warno (Pengamat Transportasi Soegijaprantara), dan Bpk. Nirwono Joga (Pengamat Tata Kota Univ. Trisakti) serta Maria Anneke (KompasTV) sebagai moderator.
Setelah Penulis mengikuti acara berlangsung hingga selesai, konteks acara diskusi ini memang lebih fokus kepada informasi bagi masyarakat prihal intensi pembangunan LRT serta sampai mana progress proyek LRT berlangsung yang menurut kabar akan selesai pada bulan April 2021 mendatang. Acara ini cukup menarik, terlebih para tamu yang hadir baik awak media, komunitas pengguna kereta api, dan para blogger diberikan sesi waktu untuk bertanya maupun memberikan masukan.
Diantara pembahasan yang dikemukakan pada acara diskusi Pembangunan LRT Jabodebek dan Sumsel Untuk Siapa? kiranya ada materi yang menurut pandangan Penulis masuk di akal yaitu LRT dalam membangun angkutan (transportasi) umum dan membentuk peradaban baru.
"Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 100 triliun per tahun." - Kompascom
Dalam pengertian seperti ini, pada hakikatnya pembangunan LRT ini merupakan sebuah kebijakan politis oleh pemerintah. Sisi ekonomi menjadi pertimbangan, kalau LRT tidak dibangun sekarang maka bisa dibayangkan berapa besaran nominal yang pemerintah keluarkan dikemudian hari dengan asumsi naik turun kondisi ekonomi global. Lalu pertanyaannya mengapa LRT dipandang begitu penting?
Di antara alasan bahwa pembangunan LRT berkenaan dengan penyelenggaraan Asian Games di kota Jakarta dan Palembang. Indonesia sebagai negara berkembang dengan besaran populasi 265 juta jiwa atau nomor 4 di dunia dapat dikatakan terlambat prihal LRT. Hal tersebut tak perlu disanksikan karena hampir sebagian kota-kota besarnya padat oleh penduduk dan ramai oleh kendaraan bermotor yang sarat menimbulkan permasalahan seperti terbatasnya lahan tempat tinggal dan kemacetan.
"Pundjung Setya Brata ( Direktur Operasi II PT Adhi Karya Tbk) juga mengklaim bahwa pembangunan LRT Jabodebek lebih murah dibandingkan dengan LRT yang dibangun di negara lain. Di mana, biaya yang dikeluarkan untuk membangun LRT Jabodebek sebesar Rp 673 miliar/kilometer (km) dan sudah termasuk prasarana dan sarananya. Artinya dengan total jalur yang dibangun 44,3 kilometer (km), maka total dana yang bakal dikeluarkan mencapai Rp 29,81 triliun." - Kontancoid
Akibatnya apa? Peradaban manusia di kota-kota besar kian terpinggirkan dimana tak sedikit pihak yang kini mencari hunian tinggal di area jauh dari lokasi kesibukannya, hal tersebut juga ditenggarai oleh semakin tingginya harga properti di pusat kota. Tak ayal akses untuk mengakomodir kualitas hidup yang baik pun serba terbatas.
Semisal dari segi transportasi mereka yang hidup dipinggiran kota, mereka harus meluangkan waktu serta biaya ekstra untuk menjangkau pusat kota. Di lain sisi, aspek kesehatan turut terlupakan karena umum mereka tidak menyadari bahwa tenaga pikiran mereka sebagian terkuras dalam perjalanan yang pada akhirnya menimbulkan resiko biaya yang lain seperti berobat karena jatuh sakit.