Hadirnya nama Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam bursa cawapres menjelang akhir pendaftaran di KPU pada lusa 10 Agustus 2018 cukup menyita perhatian publik. Nama UAS dan Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Salim Segaf Aljufri muncul setelah Ijtima Ulama GNPF berkumpul dan merekomendasikan keduanya untuk menjadi cawapres mendampingi Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
Dengan adanya nama ustadz Abdul Somad dan Salim Segaf Aljufri turut menambah dinamika kubu oposisi tatkala bergabungnya Partai Demokrat kedalam koalisi menghantarkan rumor turutsertanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam bursa cawapres. Sesuatu yang tidak mengejutkan karena komunikasi politik antara partai Demokrat dan Gerindra sebelumnya secara konsisten dirajut.
Berbicara mengenai peluang Ustadz Abdul Somad dalam bursa cawapres untuk mendampingi Prabowo maka jelas sangat kecil kemungkinannya. Beliau bukan seorang politisi maupun kader dari partai manapun, beliau merupakan seorang ulama yang gemar berdakwah, secara pamor sosoknya baru dikenal luas melalui beragam informasi yang viral di medsos.
Hadirnya namanya Ustadz Abdul Somad menurut pandangan Penulis bukanlah sebagai element of surprise dinamika politik, tetapi lebih kepada strategi politis untuk menarik simpatian berbasis religi. Kemudian peran ulama ialah bersanding dengan penguasa guna memberikan rujukan akan bagaimana menjadi pemimpin amanah bagi umat. Ulama menjunjung tinggi kepada siapa yang benar-benar kuasa yaitu Allah Swt, bukan kepada partai.
Mengacu pada kondisi tersebut maka hanya ada dua nama yang Penulis memiliki peluang besar untuk menjadi cawapres Prabowo, yaitu AHY dan Salim Segaf Aljufri. Untuk AHY maka semua pasti setuju bahwa latar belakangnya di partai Demokrat dan sosoknya yang muda energik dapat mendulang voters para generasi milineal ialah alasan kuat untuk memilihnya.
Sedangkan Salim Segaf Aljufri tiada kata lain selain loyalitas partai PKS terhadap Gerindra selama ini menjadi alasan kenapa PKS berhak menyodorkan nama kadernya. Di lain pihak hal tersebut turut didorong posisi partai PAN yang sudah menyodorkan nama Hatta Rajasa di Pilpres 2014 lalu maka sudah sepatutnya PKS diberikan kesempatan di Pilpres 2019 mendatang.
Menyangkut elektabilitas, dari ketiga nama baik itu Ustadz Abdul Somad, AHY, dan Salim Segaf Aljufri maka hanya ada nama AHY-lah yang kerap diuji oleh lembaga survey sebagai tolak ukur.
Seandainya Prabowo dan koalisi bersikeras mendorong dua nama yang belum ada tolak ukurnya, tentu diibaratkan kubu oposisi sedang mencoba peruntungan dan memungkinkan lunturnya dukungan dari partai Demokrat (sebagaimana kita ketahui bersama, partai Demokrat baru mengukuhkan nama Prabowo sebagai capres, belum siapa cawapresnya). Sedangkan mendorong nama AHY jelas pilihan yang realistis bukan saja menghimpun kekuatan baru yang dapat digunakan di kemudian hari tetapi juga solusi untuk membuat kubu oposisi tetap solid sementara ini. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H