Raja dan Ratu saling beradu, pion girang bersorak sorai. Mungkin gambaran tersebut dapat mewakili perseteruan antara Jokowi dan Prabowo jelang Pilpres 2019 mendatang. Ketika pencaharian pendamping (Cawapres) belum usai digodok mengingat batas masa pendaftaran Capres dan Cawapres masih beberapa bulan kedepan (Agustus 2018), konstelasi politik di Indonesia seketika menghangat disebabkan kedua figur Jokowi dan Prabowo berseteru melalui media.
Pidato Prabowo yang mengangkat materi fiksi yang menyatakan Indonesia bubar pada tahun 2030 sontak menjadi bola salju yang menyita perhatian, tak terkecuali Presiden Jokowi yang menanggapi kritik Prabowo tersebut dapat membentuk pesimisme pada publik.
Mengacu pada permasalahan diatas, apa yang Prabowo utarakan boleh jadi ada benarnya dalam konteks tertentu. Prihal Indonesia bubar tahun 2030 bisa saja timbul dari keprihatinan beliau akan cintanya kepada bangsa ini, perpecahan antar kepentingan baik pada elit politik maupun yang terjadi di dalam masyarakat, kesenjangan antara si kaya dan si miskin prihal kesejahteraan, serta anomali yang menginginkan bangsa ini terus menerus terpuruk dan terpecah belah, dan lain-lain sebagainya bisa menjadi pemicu bubarnya Indonesia.
Bahkan tak perlu menunggu tahun 2030 jikalau melihat keadaan bangsa ini yang kerap lengah dan terlena, ribut tak berujung, korupsi kian merajalela, penegakan hukum tumpul, tak mulai bebenah diri, dan sebagainya mungkin saja bangsa ini benar-benar telah bubar akibat gelap mata akan kuasa dan harta.
Namun sayangnya apa yang Prabowo utarakan bukan pada momentum yang tepat. Boleh jadi ini merupakan strategi politik jelang perhelatan akbar, tetapi tidaklah elok menggaungkan Indonesia akan bubar tahun 2030 sedangkan kesemuanya bermuara guna merebut kekuasaan. Akan muncul tanda tanya jikalau nyata-nyatanya Indonesia bakal bubar, lalu mengapa mau berkuasa?
Kemudian prihal respon keras Jokowi yang secara tak langsung menanggapi pidato Prabowo tersebut tak bisa juga dikatakan salah. Memang konteks Indonesia bubar pada tahun 2030 punya banyak makna berbeda tergantung sudut pandang yang digunakan, bisa sebagai peringatan untuk meningkatkan kewaspadaan tetapi bisa pula memupuk pesimisme atau ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Jikalau rakyat dibangun dari rasa tidak percaya mereka kepada pemerintah, lantas bagaimana bangsa ini akan maju? Bukankah sikap optimisme dalam publik harus dibentuk? Bukannya orang bermimpi dapat berjalan ke bulan dan menjadi kenyataan, bukan hanya diam dalam tempurung. Apakah Indonesia akan bubar tahun 2030 adalah mimpi bangsa ini di esok hari?
Lalu bagaimana jalan tengahnya untuk mengakhiri perseteruan ini? Karena keduanya baik Jokowi dan Prabowo merupakan sosok terpandang di negeri ini, alangkah baiknya jika mereka dapat saling bertemu untuk bersilaturahmi menjalin kekerabatan. Jangan hanya bertemu bertegur sapa dan naik kuda ketika kompetisi telah usai atau hanya pas ganti Presiden
masalah bangsa ini banyak hal yang perlu dibicarakan dan dicari solusinya bersama-sama. Kemudian ajaklah para elit politik yang lain untuk menjaga keharmonisan, jangan ini malah asyik kegirangan ketika melihat Raja dan Ratu saling beradu. Saling lempar opini layaknya bahan bakar yang justru memecah belah bangsa ini.
Alangkah bosannya rakyat apabila pemimpin-pemimpin di negeri ini ribut saling sikut, sedangkan hidup mereka sebagian masih ada yang kesusahan dan gaung bangsa ini kian terpuruk terus menerus diumbar. Cobalah beri gambaran yang sejuk kepada rakyat bukan layaknya obat penenang agar 250 juta jiwa pada tenang, akan tetapi sebagai pijakan guna melangkah kedepan bersama-sama membangun Indonesia agar maju dan lebih baik. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H