Seiring perjalanan hidup manusia konteks cita-cita manusia selaras mengikuti bertambahnya umurnya, dari kisah bocah yang ingin mencapai suatu profesi hingga jenjang dewasa yang punya beragam macam keinginan sesuai pencapaiannya tak terkecuali keinginan untuk menikah dan berumahtangga. Hadirnya pasangan dalam hidup memotivasi pola pikir manusia untuk melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi, namun disaat itulah individu mulai mengalami kebimbangan dan keraguan yang menghambatnya untuk maju.
Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya individu-individu yang ingin melaju kepada jenjang rumah tangga pasti mengalami hambatan, dalam dirinya (hati) seolah timbul rasa khawatir dan takut terhadap apa keputusan yang akan dibuat, diantaranya :
1. Ketakutan akan kegagalan.
Bagi yang ingin menikah umum mereka menghadapi keraguan akan apakah dirinya mampu membina rumah tangga dengan baik dan terhindar dari perceraian. Kondisi ini memiliki plus minus, dimana minus membuat seseorang tersebut menunda-nunda keinginannya berumahtangga. Sedangkan plus maka dikala ia telah memutuskan untuk maju berumahtangga, orang tersebut akan berupaya sekuat tenaga agar kehidupan rumah tangganya harmonis.
Acapkali dalam hidup kita mendengar kalimat "jalani dan lihat hasilnya nanti", dalam kasus ini mungkin saja kalimat tersebut ada benarnya. Jika pribadi dihadapkan keraguan ketika memutuskan untuk saatnya atau belum waktunya berumahtangga maka ada baiknya jangan menundanya.
Pertimbangan waktu yang terbuang, umur yang lama kelamaan bertambah, pengaruh dari luar bertambah besar yang membuat pola pikir tak karuan, justru akan membuat anda terlena dan pada akhirnya malas atau hilang motivasi untuk berumahtangga. Maka sebaik-baiknya putuskan segera untuk menikah dan lakukan yang terbaik bagi keluarga anda.
2. Ketakutan terhadap ketidakcukupan.
Salah satu keraguan yang umum dihadapi seseorang dalam memutuskan untuk menikah ialah lantaran ekonomi. Lingkup permasalahan yang dihadapi mencakup besarnya biaya untuk melangsungkan pernikahan berikut biaya ketika berumahtangga. Munculnya keraguan bukanlah tanpa alasan disebabkan oleh faktor sosial serta pandangan yang dipengaruhi faktor eksternal, seperti pengalaman orang baik yang akan maupun telah berumahtangga, berita atau informasi prihal kehidupan berumahtangga, dan lain-lain sebagainya.
Hal-hal demikian untuk sebagian individu menanggapi segala bentuk informasi tersebut sebagai tolak ukur akan kemampuan pribadi, pertanyaan "apakah pribadi mampu dari sisi ekonomi" tumbuh berkembang menjadi keraguan hingga ketakutan untuk memutuskan menikah.
Menikah apabila di analogikan secara pribadi (sempit) memang seringkali tidak masuk di akal, alhasil timbul keraguan dan ketakutan. Namun jika pribadi melihat sudut pandang lebih luas bahwa rezeki bisa datang (dilapangkan) darimana saja maka kesemuanya jadi masuk akal.
Seseorang yang ihwalnya berpenghasilan hanya untuk dapat menghidupinya dirinya sendiri, maka ketika menikah dan berkeluarga secara pola pikir akan berubah dimana ia tidak lagi memikirkan rezeki (penghasilannya) hanya untuk dirinya sendiri namun bagaimana penghasilannya tersebut mencukupi kebutuhan hidup berkeluarga. Alhasil seseorang akan merubah pola pikirnya bagaimana cara agar survive, seperti dengan cara berhemat maupun mencari penghasilan tambahan, atau usaha lainnya dengan menjadikan keluarga sebagai motivasi.