Lihat ke Halaman Asli

Reno Dwiheryana

TERVERIFIKASI

Blogger/Content Creator

Hapus Rasa Takut Menikah dengan Rekan Sekantor

Diperbarui: 20 Desember 2017   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 153 Ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Permohonan tersebut diajukan oleh delapan pegawai swasta, yakni Jhoni Boetja, Edy Supriyanto Saputro, Airtas Asnawi, Syaiful, Amidi Susanto, Taufan, Muhammad Yunus, dan Yekti Kurniasih. 

Dengan adanya putusan MK tersebut, maka sebuah perusahaan tidak bisa menetapkan aturan yang melarang karyawannya untuk menikah dengan teman satu kantornya.

Dalam pertimbangan putusannya, MK menyatakan pelarangan tersebut tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan seseorang. MK juga menilai tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah atau ikatan perkawinan.

Selain mengabulkan permohonan, MK juga menyatakan frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama" dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. - Kompas.com

Sekilas diatas merupakan kutipan dari sebuah pemberitaan mengenai putusan MK yang memperkenankan seseorang menikah dengan rekan sekantornya. Sebuah keputusan yang solid mengingat betapa ketatnya peraturan perusahaan akan hal ini, salah satunya yaitu mengenai penilaian ketidakprofesionalan yang diakibatkan pernikahan rekan sekantor. Namun benarkah penafsiran tersebut benar demikian adanya?

Sejatinya profesionalisme seseorang ditunjang dari karakter pribadinya, dalam pengertian seseorang yang profesional mampu membedakan mana urusan pribadi dan mana urusan pekerjaannya sehingga tidak bercampuraduk serta mengganggu kualitas kinerjanya. 

Jika kita mau jujur bahwa tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang dipimpin oleh sosok suami dan istri, terlepas dari hubungan yang terjalin diantara keduanya tetapi mereka dapat bekerja semaksimal mungkin untuk perusahaannya.

Itu baru pada lingkup pemimpin perusahaan yang mungkin banyak anggapan mereka memiliki kuasa sehingga mudah dalam memanage kehidupan pribadinya, walau demikian perlu diingat bahwa memimpin sebuah perusahaan bukanlah perkara mudah. Lalu bagaimana jikalau kapasitasnya sebatas sebagai karyawan?

Si A mencintai dan ingin menikah dengan si B, namun dikarenakan peraturan perusahaan tak memperbolehkan pernikahan sesama rekan sekantor maka salah satu dari mereka harus berhenti dari pekerjaannya. Menjadi sebuah pertanyaan apakah cinta harus dibatasi sekat-sekat pada perusahaan tempat bekerja?

Menurut Penulis dengan adanya keputusan MK maka selayaknya perusahaan saat ini harus membuka cara pandang mereka akan pernikahan antar rekan sekantor. Buang jauh pandangan akan ketidakprofesionalan yang terbentuk dari pernikahan menjadi sesuatu yang dapat meningkatkan kinerja serta memotivasi karyawannya. 

Hindari penilaian mengenai terjadinya kongkalikong tindak kejahatan maupun nepotisme yang mungkin terjadi pada perusahaan disebabkan pernikahan menjadi bentuk trust perusahaan kepada karyawan dan harapan bagi bentuk loyalitas dari karyawan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline