Rencana pemblokiran layanan chat Telegram berbasis web oleh pemerintah melalui Kemenkominfo menuai pro kontra di kalangan publik. Sebagaimana kita ketahui bersama himbauan prihal pemblokiran merupakan imbas digunakannya layanan chat ini oleh para teroris untuk berkomunikasi serta mengkoordinasi aksi teroris. Tak dapat disangkal bahwa layanan chat Telegram menjadi primadona di kalangan teroris di penjuru dunia dikarenakan Telegram menjunjung hak "privasi" bagi para penggunanya, keamanan yang berlapis membuat layanan chat ini sulit untuk ditembus maupun disadap. Pertanyaannya jika demikian adanya, pernahkah anda-anda terpikirkan betapa besarnya ancaman yang dapat ditimbulkannya bagi keamanan sebuah negara khususnya di Indonesia?
Menanggapi pro kontra pemblokiran layanan chat Telegram, Penulis beranggapan bahwa apa yang pemerintah lakukan merupakan tindakan yang benar tanpa terkecuali. Keamanan negara merupakan prioritas utama dimana negara wajib melindungi rakyat dari segala bentuk ancaman dari dalam maupun luar seperti aksi terorisme.
Tidak seorangpun kiranya sampai ridho keluarga, saudara, kerabatnya menjadi korban dari aksi terorisme. Namun sayangnya untuk sebagian kalangan masyarakat dimana umumnya masyarakat awam atau lebih sebatas kepada pengguna biasa, langkah pemerintah ini dianggap sebagai tindakan yang kekanakan, sikap "paranoid", ada yang menyebutnya sebagai "rezim panik", bahkan lelucon yang mengatakan langkah pemerintah ini dapat mempengaruhi elektabilitas dalam Pilpres 2019. Di satu sisi begitu awamnya masyarakat akan teknologi, di sisi lain masyarakat yang menolak pemblokiran Telegram menanggalkan akan realita dibaliknya yaitu terorisme dapat berimprovisasi dan latar belakang bisnis dunia medsos.
Satu ancaman yang jelas-jelas nyata dan masyarakat bisa amati dari aksi terorisme adalah para teroris berimprovisasi dalam melangsungkan aksi teror mereka. Apakah anda-anda tidak perhatikan bagaimana aksi "lone wolf" teroris dalam melancarkan aksinya? Boleh dikata aksi-aksi tersebut merupakan plagiat dari eksploitasi media terhadap aksi terorisme yang terjadi di luar, akan tetapi apakah pernah terpikirkan bagaimana caranya sampai seseorang terpengaruh dan tega melangsungkan aksi terorisme. Pernahkah anda memikirkan bagaimana bisa begitu banyaknya jumlah teroris yang direkrut, aksi-aksi teror seperti tak pernah berhenti, dan bagaimana paham-paham radikalisme begitu mudahnya beredar?
Kemudian kiranya kita tidak dapat kesampingkan sisi bisnis yang melatarbelakanginya. Sebagaimana kita ketahui bahwa dunia medsos hidup berkat adanya user atau pengguna dimana semakin banyak pengguna maka akan semakin banyak pundi-pundi keuangan yang developer dapatkan, coba anda hitung berapa kira-kira jumlah pengguna Telegram di Indonesia?
Memang hal ini bertolakbelakang dikarenakan Telegram merupakan perusahaan nirlaba independen atau non profit, akan tetapi pamor yang didapat oleh layanan chat ini kiranya mampu mendorong popularitas si empunya. Jika memang Telegram tidak peduli akan pemblokiran yang terjadi di Indonesia, Penulis kira mereka tidak akan menanggapi serius dan membiarkannya ketimbang bekerjasama dan mematuhi pemerintah.
Menanggapi pemblokiran Telegram ini menurut Penulis kiranya publik tidak perlu panik dan menghubung-hubungkannya ke hal-hal yang tidak ada sangkutpautnya ataupun justru menjuruskannya ke isu-isu yang tidak membangun. Sampai saat ini pernyataan dari pemerintah jelas bahwa inti masalah hanya pada layanan chat Telegram dan tidak berimbas ke medsos lainnya.
Kita perlu sadar bahwa dibalik kemajuan teknologi informasi bahwa membawa manfaat namun sertamerta ancaman mengiringinya, untuk itu perlunya pengawasan dan sikap bijak dari individu guna meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan terjadi salah satunya "pemblokiran". Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H