Lihat ke Halaman Asli

Reno Dwiheryana

TERVERIFIKASI

Blogger/Content Creator

Tempat Tinggal vs Mall

Diperbarui: 6 Maret 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pernyataan Anies Baswedan mengenai tanah negara yang dijadikan mal hingga kini masih mengundang teka-teki bagi publik, sikap bungkam Anies seperti Penulis katakan menjadi bola liar yang mengakibatkan publik berandai-andai disebabkan tidak banyak informasi yang publik ketahui prihal tetek bengek dibelakangnya. Tetapi sudahlah tidak perlu dipusingkan, semoga saja Anies terpanggil hatinya dan segera menjelaskan kesemuanya ke publik.

Membahas mengenai mal, dari apa yang Penulis kutip total ada 170 lebih keberadaan pusat perbelanjaan yang tersebar di wilayah Jakarta. Luar biasa bukan, kira-kira berapa persentase yang disinyalir dibangun diatas negara? Lalu mari kita bersama jujur, apakah keberadaan mal hanya berpihak kepada konglomerat disana?

Sebagai pusat perbelanjaan modern kiranya sampai saat ini belum ada larangan bertuliskan begini, "bagi masyarakat tidak mampu dilarang memasuki mal". Hal tersebut menegaskan berdiri-berdirinya mal tidak hanya menyerap mereka kalangan berlebih, tetapi masyarakat golongan tidak mampu pun bisa datang untuk sekedar menikmati suasana megahnya mal walau hanya bermodalkan biaya parkir masuk. Konsep mal berkembang tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan jetset seperti di kawasan-kawasan elite Jakarta, tetapi juga ada yang dibangun guna menjangkau kalangan bawah yang letaknya pun dipandang sangat strategis.

Konotasi keberadaan konglomerat dibalik berdirinya mal memang kental, tidak hanya pemilik mal atau pengembang namun selaku pemilik gerai kiranya bukan sembarang orang. Menyewa sebuah gerai di mal mampu mengerenyitkan dahi bahwa modal yang dikeluarkan sangatlah besar, hal tersebut belum lagi ditambah biaya operasional dan para pegawai serta lainnya.

Kembali pertanyaannya benarkah hanya konglomerat? Lalu bagaimana dengan mereka para pekerja di mal tersebut, apakah mereka dapat kita sampingkan dengan berkata yang bekerja di mal hanya orang-orang berada saja? Bagaimana para satpam yang menjaga mal, para penjaga parkir, para cleaning service, para penjaga gerai, dan lain-lainnya? Kita tidak bisa sanksikan bahwa benar adanya walau persentasenya rendah tetapi mal juga menyangkut keberlangsungan hidup rakyat kecil atau dengan kata lain mal juga menyerap tenaga kerja dimana pengangguran merupakan salah satu masalah tidak hanya di lingkup DKI Jakarta saja melainkan menyeluruh.

Polemik akan pernyataan Anies mengenai mal berdiri diatas tanah negara secara tidak langsung membenturkan antar kepentingan, kembali lagi tagline rakyat kecil seolah diadu antara kebutuhan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah sebagian kalangan. Seperti yang sudah-sudah dan sebagai pengakhir artikel ini, mengapa itu permasalahan di Jakarta tidak pernah kunjung usai. Apa kira-kira publik yang tidak mempunyai lahan nafkah bisa memperoleh tempat tinggal, tanyalah kepada rumput yang bergoyang. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline