Masih lekat di ingatan kita peristiwa memilukan yaitu gempa bumi yang terjadi Samudera Hindia (gempa bumi Sumatera-Andaman) di tahun 2004 lalu. Gempa bumi berkekuatan 9,1-9.3 mengguncang disertai terjadinya gelombang tsunami yang menyebabkan jumlah korban tewas sekitar 230.000 jiwa di 13 negara termasuk Indonesia dimana Aceh menjadikan wilayah yang paling parah terkena dampaknya dengan jumlah korban tewas mencapai kurang lebih 170.000 jiwa dan kerugian materi yang tak terhitung besarannya.
Dari peristiwa tsunami Aceh seolah membuka mata kita semua akan betapa besar dampak dari sebuah bencana alam dan untuk itu perlu dilakukan upaya guna mengatasinya. Lahirnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tahun 2008 merupakan itikad pemerintah pusat akan pentingnya dibentuk sebuah lembaga yang dikhususkan untuk menanggulangi bencana alam, hal ini pun diperkuat dikarenakan Indonesia mencakup wilayah-wilayah yang rentan terjadinya bencana alam seperti gunung meletus, longsor, gempa bumi, dan lain-lain sebagainya.
BNPB sadar betul bahwa untuk menanggulangi bencana tidaklah cukup hanya bergerak ketika bencana telah terjadi, oleh karena itu langkah antisipasi pun perlu dilakukan. Salah satu caranya yaitu melalui sosialisasi tanggap bencana, mengapa hal ini begitu penting?
Sosialisasi tanggap bencana sangatlah diperlukan untuk memberikan informasi berkelanjutan kepada masyarakat luas mengenai bencana alam meliputi dampak serta tindakan yang perlu dilakukan dalam mengantisipasi bencana sebagai bentuk upaya meminimalisir sehingga baik korban jiwa maupun materi dapat ditekan dan upaya pertolongan pasca bencana dapat terkoordinir dengan baik dan cepat.
Perlu digarisbawahi disini walau masyarakat tahu akan dahsyatnya dampak bencana dari sosialisasi yang telah BNPB lakukan namun tingkat kesadaran masyarakat terhadap bencana masih rendah dan pengetahuan masyarakat akan bencana masih kurang. Fakta di lapangan menyuguhkan bahwa masyarakat yang hidup di wilayah rawan bencana kurang prihatin akan keselamatannya sendiri begitupun kepada nyawa orang lain dan masyarakat yang ikut memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban bencana kurang paham akan prioritas kebutuhan yang benar-benar diperlukan pasca bencana.
Sebagai contoh masyarakat acap kali mereka memilih lokasi tempat tinggal yang relatif tinggi rawan bencana longsor maupun tetap memilih tinggal di lokasi pasca bencana, melakukan aktivitas penambangan dan penebangan pohon secara liar yang memungkinkan terjadinya bencana, ada pula pihak yang tidak bertanggungjawab mencuri sensor pendeteksi bencana, kemudian para donatur yang ikut membantu korban bencana hanya berfokus pada pangan tetapi tidak dibekali dengan pendukung kehidupan lainnya semisalkan air, pakaian, peralatan memasak, obat-obatan, dan lain-lainnya. Contoh diatas jelas sangat merugikan dan merepotkan, sikap acuh dan tindakan tidak bertanggungjawab tidaklah sepadan dengan besaran kerugian yang akan dihadapi ketika bencana terjadi, sedangkan ketidaktahuan akan apa yang diperlukan korban pasca bencana justru menjadi bertambahnya beban mereka.
Untuk itu dalam upaya memperluas jangkauan sosialisasi tanggap bencana dan lebih meningkatkan lagi kesadaran serta kepedulian masyarakat terhadap penanggulangan bencana, BNPB melakukan inovasi sosialisasi dalam upaya pendekatan kepada masyarakat melalui media sandiwara radio yang disiarkan oleh 20 stasiun radio lokal maupun komunitas yang berfokus di wilayah rawan bencana. Pertanyaannya mengapa dipilihnya media radio?
Dipilihnya media radio dikarenakan radio merupakan media yang merakyat, alatnya mudah didapat, murah, mudah dioperasikan, didukung infrastruktur yang memadai sehingga jangkauannya pun sangat luas dan dapat menembus wilayah terpencil. Kemudian media sandiwara radio dinilai atraktif (memiliki daya tarik) selain memenuhi sisi menghibur tetapi dapat pula dijadikan sebagai media edukasi bagi masyarakat.
Walau demikian langkah ini tidaklah luput dari tantangan, sebagaimana akibat dari teknologi yang terus berkembang media radio seperti tersisihkan oleh modernisasi. Namun BNPB tetap optimis, melalui media sandiwara radio berdurasi 30 menit dengan total 50 episode ini diyakini masih mampu menarik perhatian publik dimana masyarakat dibangkitkan kembali akan memori masa lalu dimana sandiwara radio begitu berkesan saat di era keemasannya dulu. Alur cerita menarik yang didalamnya disisipkan sosialiasi tanggap bencana disertakan penokohan karakter yang dibalut vokal ciri khas pengisi suara akan menjadi magnet bagi siapa pun yang mendengarkannya, dengan begitu masyarakat dapat terhibur berikut pandai dalam menanggapi bencana.
___
FB : Reno Dwiheryana