Lihat ke Halaman Asli

Reno Dwiheryana

TERVERIFIKASI

Blogger/Content Creator

Fenomena Urbanisasi Pasca Idul Fitri dan Lambatnya Otonomi Daerah

Diperbarui: 21 Juli 2016   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kiranya sudah dua pekan Hari Raya Idul Fitri terlewati, Ibukota yang tiba-tiba lenggang dikarenakan dampak libur panjang dan cuti bersama penduduk kota Jakarta yang berbondong-bondong menyempatkan diri pulang kampung kini kembali ke tabiat awalnya sesak dan macet. Di sisi lain kembali normalnya situasi Jakarta bahwa ada fenomena yang terus menerus terjadi pasca Idul Fitri yaitu urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Urbanisasi merupakan problematika yang umum dihadapi kota besar, salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya urbanisasi dilandasi oleh faktor ekonomi yang diakibatkan tidak meratanya pembangunan. Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa Indonesia sekarang ini menetapkan otonomi daerah dimana sebuah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai wujud penerapan desentralisasi.

Kita memang tidak bisa menampik bahwa pembangunan besar-besaran dominan dilakukan di Jakarta, akibatnya seolah terjadi kesenjangan, perbedaan, maupun gap diantara Ibukota dengan kota-kota di pelosok Indonesia. Bagi individu diluar Ibukota, Jakarta dinilai sebagai destinasi tujuan guna memperbaiki nasib kehidupan dengan acuan upah minimum rata-rata (UMP) yang relatif besar dibandingkan kota asal mereka. Namun apabila ditelaah lebih dalam, cakupan UMR di Jakarta tidak berpengaruh banyak jika dibandingkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk bertahan hidup.

Gambaran ini pun tidak selaras dengan kemampuan kalangan pendatang yang mayoritas diisi oleh golongan berketerampilan rendah atau dibawah ekspektasi perusahaan dalam mencari tenaga kerja. Alhasil kalangan pendatang ini kalah bersaing dan ikut menumpuk dengan kumpulan individu yang bernasib sama tetapi menetap di Ibukota sebagai pengangguran. Kontekstual terjadinya pengangguran di Jakarta bukan hanya didasari tidak berjalannya roda ekonomi dengan baik, tetapi disebabkan pula oleh jumlah peluang kerja di Jakarta tidak mampu menampung besarnya calon tenaga kerja yang setiap tahunnya mengalami peningkatan.

Dari sepersekian persen calon tenaga kerja mungkin hanya sedikit yang tersalurkan menjadi tenaga kerja di perusahaan maupun instansi pemerintah dengan taraf pendapat UMR bahkan lebih, sisanya terbagi apakah itu menjadi tenaga kerja usaha kecil, wirausaha, dan yang tragis menjadi pengangguran. Urbanisasi yang tak terkontrol pun memiliki dampak panjang kepada lingkup sosial, sebagaimana hubungannya dengan faktor ekonomi maka mendorong pula permasalahan lain seperti tingginya tingkat kejahatan, tunawisma, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana mengatasi fenomena urbanisasi yang terjadi, apakah selaku Ibukota harus memagari wilayahnya dengan plang tidak menerima pendatang? Tentu hal tersebut tidak mungkin diterapkan, jalan satu-satunya untuk mengatasi permasalahan urbanisasi yaitu dengan mendorong agar pemerintah daerah (diluar Ibukota) mengembangkan wilayahnya melalui industri padat karya yang dapat memberikan lapangan pekerjaan lebih besar dan menampung tenaga kerja lebih banyak. Kemudian tidak lupa juga bahwa industri padat karya perlu disupport oleh prasarana dan sarana yang memadai terutama untuk jalur distribusi barang, disertakan pula pola kerja aparatur pemerintah daerah yang profesional dan memiliki keinginan memajukan daerahnya.

Seiring waktu bilamana otonomi daerah terus saja berjalan lambat maka otomatis Jakarta akan kian padat dan tentunya problematika yang menjangkiti Jakarta mustahil satu persatu terselesaikan. Pembangunan diluar Jakarta bahkan Penulis himbau diluar pulau Jawa harus lebih diprioritaskan, namun perlu diingat bahwa otonomi daerah pun memiliki konsekuensi yaitu meningkatnya taraf hidup di suatu daerah maka akan mengikutsertakan meningkatkan biaya hidup juga dampak sosial lainnya. Pertanyaannya apakah sebagai individu mampu tidak menerima perubahan tersebut. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline