Dramatis mungkin sepenggal kata yang bisa menceritakan kisah dari timnas Islandia, sebuah negara beriklim dingin dengan populasi ±330.000 jiwa yang terletak diantara Greenland dan daratan Inggris ini begitu mencuri perhatian kalangan pecinta sepakbola di seluruh dunia dalam ajang EURO 2016 Perancis. Sederet prestasi mereka raih dari lolos kualifikasi EURO 2016 sebagai runner-up grup dibawah Czech Republic, EURO 2016 merupakan debut turnamen internasional pertama, bertengger sebagai runner up grup F EURO 2016, dan mencapai fase perempat final setelah dilumat habis oleh tuan rumah Perancis dengan skor 5-2.
Namun demikian sebagai sebuah negara antah berantah, publik Islandia tentu sangat berbangga akan pencapaian timnas mereka. EURO 2016 Perancis akan tertulis dalam sejarah dan dikenang sebagai bentuk keberhasilan serta motivasi bagi mereka kedepannya untuk mencapai prestasi lebih baik lagi. Dibalik kisah fenomenal Islandia, salah satu negeri yang menjadi lokasi syuting film Fast 8 ini (francise Fast Furious) seolah menampar muka Indonesia. Loh kok bagaimana bisa?
Terlepas dari segala faktor apakah itu Islandia sebagai negara yang tidak memiliki klub liga professional, faktor iklim yang kurang mendukung, sampai pelatih timnas yang hanya seorang dokter gigi, mereka terbukti berhasil membangun sepakbola negerinya yaitu melalui cara regenerasi dan memperbaiki mental pemain. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Sungguh sangat disayangkan prestasi timnas Indonesia dibandingkan timnas Islandia bagai pepatah jauh panggang dari api, Indonesia dengan jumlah penduduk 1/757 jumlah penduduk Islandia berikut potensi-potensi yang dimilikinya tak mampu menunjukkan taringnya sama sekali, apakah itu kapasitasnya turnamen dunia bahkan untuk lingkup ASEAN sekalipun.
Sepakbola Indonesia seperti masih terngiang-ngiang ketika masa berjayanya tetapi itu dulu, seiring waktu ketika negara-negara khususnya para tetangga fokus berbenah justru Indonesia lebih fokus asyik ribut berebut tongkat kekuasaan di persepakbolaan nasional. Hal tersebut belum lagi ditambah pekerjaan rumah membenahi profesionalisme kompetisi dan klub, mental pemain hingga supporter.
Sebenarnya ada apa dengan sepakbola nasional Indonesia, mengapa sulit sekali merealisasi keinginan dengan kenyataan? Apakah mungkin bermimpi layaknya pencapaian timnas Islandia terlampau jauh? Atau kondisi terpuruknya prestasi timnas memang sengaja dibiarkan terus terjadi agar permainan kotor dibelakangnya dapat terus berlangsung?
Sepakbola merupakan cabang olahraga yang universal dalam konteks dibalik industri bisnisnya sepakbola bisa menjadi alat pemersatu, sebuah cerminan bahwa raihan prestasi yang dicapai timnas juga mampu membangkitkan rasa nasionalisme. Kemudian yang perlu Indonesia sadari bahwa tidak ada prestasi yang instant, apa yang dicapai Islandia merupakan proses panjang dan bukan sekedar berwacana mendatangkan pelatih kelas dunia menangani timnas. Pertanyaannya sampai kapan Indonesia akan terus gigit jari, merengut meratapi timnas yang tak kunjung berprestasi? Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H