Menghapus 3 in 1 atau tidak menghapusnya? Bisa dikatakan kedua pilihan tersebut layaknya kata buah simalakama. Menghapus 3 in 1 maka menghapus pula keberadaan joki 3 in 1 yang menjadi akal bulus para pengendara roda empat mensiasati sistem yang digunakan untuk meredam kemacetan jalan di jam-jam tertentu. Tidak menghapus 3 in 1 maka keberadaan joki 3 in 1 memungkinkan akan terus ada jika saja penertiban aparat tidak berlangsung terus menerus dan kondisi jalan Jakarta pun kiranya takkan mengalami perubahan sama seperti sedia kalanya.
Polemik penghapusan 3 in 1 bermula dari terungkapnya eksploitasi anak dimana salah satu modus operasinya digunakan sebagai joki 3 in 1, poinnya Penulis sudah jelaskan prihal ini pada artikel sebelumnya bahwa lingkup inti masalah yaitu persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terjadi di Ibukota.
Namun nampaknya polemik ini terus bergulir hingga keputusan akan dilakukan uji coba bilamana sistem 3 in 1 ini ditiadakan dalam kurun waktu yang telah direncanakan. Sekilas gambaran mungkin sudah anda dapatkan, beberapa ruas jalan Ibukota yang sebelumnya sudah padat walau dilakukan sistem 3 in 1 maka kemungkinan besar akan bertambah parah, tetapi disaat bersamaan area kantong-kantong joki 3 in 1 yang biasa menawarkan jasa mereka dipinggir jalan tidak akan anda lagi temui.
Rasa-rasanya polemik penghapusan 3 in 1 ini mustahil tidak layaknya melempar sebuah batu kemudian dua burung jatuh, ditambah lagi kontennya yang bersinggungan ke ranah sosial dimana bertujuan pula untuk mencegah agar tidak terjadinya kembali praktik ekploitasi anak mau tidak mau (penghapusan 3 in 1) harus dilakukan.
Langkah yang kiranya lebih tepat ketimbang menambah keberadaan sistem 3 in 1 lebih banyak lagi yang pada ujung-ujungnya berusaha menyelesaikan permasalahan kemacetan Ibukota tetapi fakta di lapangan tidak sama sekali mendukung dimana ruas jalan Ibukota sudah tidak memungkinkan menampung besaran jumlah kendaraan bermotor di Ibukota yang setiap tahunnya mengalami peningkatan dan sarana transportasi umun yang belum memadai. Hal ini pun malah membuka peluang baru berkembangnya praktik eksploitasi anak yang sebenarnya maksud tujuan dasar mentiadakan sistem 3 in 1.
Lalu pertanyaan dari wacana ini konsekuensinya apa? Semua pasti akan bertanya-tanya bagaimana nasib kehidupan mereka para joki 3 in 1 yang mendulang rezeki sehari-hari dari profesi ini? Tentu ini semacam terjadi dua pertentangan moralitas yang saling diadu antara menyelamatkan anak dari eksploitasi pihak tidak bertanggungjawab dengan senjakala lahan penghidupan sebagian kalangan. Kesimpangsiuran polemik ini pun ditambah dengan bayang-bayang meningkatnya tingkat kejahatan dilandasi persoalan sosial dan ekonomi.
Memang menghadirkan solusi untuk kondisi Jakarta yang carut marut diisi oleh ragam kepentingan pada akhirnya menjadikan problematika yang berputar-putar layaknya lingkaran setan. Satu fakta bahwa setiap solusi yang diterapkan di Ibukota maka mutlak konsekuensi warga DKI Jakarta harus terima dan jalani. Akan tetapi bukan berarti masalah baru nanti tanpa solusi, justru kita harus carikan solusi bersama-sama agar bagaimana permasalahan di Ibukota selesai seutuhnya. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H