"Nampaknya usaha kita gagal", mungkin kalimat itu yang terlontar oleh negara asing dan antek-anteknya terhadap Indonesia menyangkut penolakan mereka akan eksekusi mati. Mereka bukan gagal dikarenakan tidak mampu menyelamatkan warga negaranya, namun apa yang mereka gagal yaitu memecah belah rakyat Indonesia dengan menggunakan isu Hak Asasi Manusia dengan memanfaatkan moment pelaksanaan eksekusi mati. Mengapa demikian? Perbandingan antara pelaksanaan eksekusi tahap pertama terhadap enam gembong narkoba sama sekali tidak mengalami kendala sekalipun kabar tersebut terliput oleh media, namun bagaimana dengan eksekusi mati tahap kedua yang rencana akan mengeksekusi mati 10 orang terpidana kasus narkoba. Semenjak nama-nama siapa saja yang masuk dalam pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua tersebar oleh media sontak negara-negara asing dan organisasi masyarakat baik di dalam maupun luar negeri sampai opini individu berdatangan silih berganti menolak agar eksekusi mati tersebut dibatalkan.
Mulai dari pernyataan bernada ancaman oleh pemerintah Australia, kecaman sekjen PBB, kecaman pemerintah Brazil, kecaman dari pemerintah Perancis, surat terbuka dari Amnesti Internasional, rangkaian surat terbuka yang mencari-cari sensasi, dan lain-lain sebagainya berupaya mensuarakan penolakan terhadap pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua. Seolah rangkaian penolakan tersebut tak kunjung berhenti dari awal hingga pada akhirnya dari total sepuluh terpidana mati yang akan eksekusi hanya delapan yang terlaksana. Negara Indonesia dicap sebagai negara barbar tak berkemanusiaan yang masih menerapkan hukuman mati sebagai sanksi hukuman sedangkan masih begitu banyak negara-negara lain yang menetapkan sanksi hukuman mati. Ini bukan pernyataan pembelaan ataupun alasan namun secara logis jelas sangat terlihat perbedaan sikap dan sifat bagi mereka yang menolak adanya hukuman mati, sebagaimana beberapa waktu lalu TKI di Arab Saudi di eksekusi mati mereka diam tak bergeming menyuarakan penolakan, jangankan TKI bagaimana dengan hukuman mati kepada pelaku teroris tampak begitu hening, akan tetapi kini untuk mereka gembong-gembong narkoba khususnya menyangkut warga negara asing justru mereka begitu lantang menyuarakan penolakan. Apakah mereka-mereka ini menerapkan "standar ganda" kepada Indonesia bahkan kepada negaranya sendiri?
Apapun yang telah terjadi dengan segala ancaman, kecaman, dan pernyataan penolakan akan eksekusi mati dari berbagai kalangan bahwa suara Indonesia tetap satu "berantas habis narkoba". Mereka telah gagal memecahbelah bangsa ini dengan membuat konfrontasi antara siapa yang mendukung maupun yang tidak mendukung pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba di Indonesia. Mereka yang selalu menggunakan "hak hidup" sebagai embel-embel berprikemanusiaan seolah melupakan bagaimana akibat dari peredaran narkoba di Indonesia. Tegaknya hukum selalu saja dibenturkan dengan nilai moral, sedangkan bagi mereka pengedar narkoba jelas-jelas selain sudah melanggar hukum dan menanggalkan nilai moral lalu mengapa justru dibela?
Dibalik itu semua negara ini tidak boleh ambil diam dengan segala bentuk penolakan tersebut, pembenahan jelas perlu dilakukan. Jangan kedaulatan negara selalu dijadikan alasan bahwa hukuman mati adalah upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi warga negara terhadap ancaman narkoba saja, baik upaya penegakan hukum hingga langkah pembinaan terhadap mereka pelanggar hukum berkaitan narkoba perlu diperbaiki. Logis walau berlaku hukuman mati di Indonesia mengapa mereka gembong-gembong narkoba masih berani menyalurkan narkoba ke dalam Indonesia, apalagi gembong narkoba yang dipenjara masih saja mampu mengkoordinir peredaran narkoba dari dalam lapas, belum lagi bagi para penggunanya yang terkadang keringanan menghampiri mereka dengan jalan rehabilitasi. Jelas semua itu perlu dibenahi sehingga jangan ada lagi persepsi menyepelekan sanksi hukum di negara ini, jangan ada lagi persepsi bahwa penegakan hukum di negara ini bertele-tele, dan jangan ada lagi persepsi hukum di negara ini begitu mudah diajak bernegosiasi. Kiranya semoga saja dengan apa yang terjadi menjadi pembelajaran bagi Indonesia untuk berbenah diri dan memotivasi untuk menjadi bangsa yang kuat serta mandiri kedepannya, semoga Indonesia lebih baik. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H