Lihat ke Halaman Asli

Saniyyah Nurul Fathimah

Interested in psychology

Mengenal Gangguan Autisme: Bukan Selalu Membicarakan Kekurangan, Melainkan Ada Kelebihan yang Dimiliki

Diperbarui: 5 Juli 2021   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ola, fellas! Kalian sudah tidak asing lagi kan mendengar istilah autisme? Atau ada yang baru pertama kali mendengar istilah ini? Autisme itu apa sih? Penyebabnya apa ya? Apakah anak dengan gangguan autisme mempunyai kelebihan? Ingin tahu jawabannya? Yuk, pahami artikel berikut ini!

Berdasarkan DSM V, autisme adalah gangguan perkembangan yang melibatkan berbagai perilaku bermasalah termasuk diantaranya masalah komunikasi, masalah persepsi, masalah motorik, dan perkembangan sosial. Gejalanya biasa muncul pada anak-anak yang tampak tumbuh normal sampai usia antara satu hingga tiga tahun. Penyandang autis biasanya menunjukan ketidakmampuan bergaul, dan ada masalah berimajinasi, kegiatan fisik dan kebahasaan. Gayatri Pamoedji, (2007); dalam Maisaroh, (2008) mengungkapkan bahwa penyebab autis karena adanya gangguan pada fungsi susunan otak sehingga terjadi gangguan perkembangan pada anak. Penyebab utama dari gangguan autisme hingga saat ini masih terus diselidiki oleh para ahli. Berikut adalah penyebab autis dan diagnosa medis menurut para ahli dalam Maisaroh (2018), yaitu:

  1. Konsumsi obat pada ibu menyusui. Obat migrain, seperti ergotamine mempunyai efek samping yang buruk pada bayi dan mengurangi jumlah ASI.
  2. Faktor Kandungan (Pranatal). Pemicu autisme dalam kandungan dapat disebabkan oleh virus yang menyerang pada trimester pertama, yaitu syndroma rubella.
  3. Faktor Kelahiran. Bayi lahir dengan berat badan rendah, prematur, lama dalam kandungan (lebih dari 9 bulan), dan mengalami gagal napas (hipoksa) saat lahir beresiko mengidap autis.
  4. Peradangan dinding usus. Sejumlah anak penderita gangguan autis umumnya, memiliki pencernaan buruk dan ditemukan adanya peradangan usus yang disebabkan oleh virus
  5. Faktor Genetika. Gejala autis pada anak disebabkan oleh faktor turunan. Setidaknya telah ditemukan dua puluh gen yang terkait dengan autisme. Akan tetapi, gejala autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen.
  6. Faktor Makanan. Zat kimia yang terkandung dalam makanan sangat berbahaya untuk kandungan, salah satunya pestisida yang terpapar pada sayuran. Pestisida dapat mengganggu fungsi gen pada saraf pusat sehingga menyebabkan anak autis.

Sementara itu, dalam wawancara kepada guru terkait siswa autisme kelas VIII yang bersekolah di salah satu SMP Jakarta Timur, penyebab siswa tersebut mengalami gangguan autisme ialah saat di kandungan, orang tua siswa tidak rutin kontrol ke dokter dan tidak memberikan asupan vitamin kepada si janin. Selain itu, perkembangan siswa tersebut saat usia 3 – 5 tahun tidak sesuai dengan anak seusianya.

“Kalau orang tua nya sih bilang katanya waktu itu kalau tidak salah pas hamil, Ibu nya itu kurang kontrol, kemudian kurang memberikan vitamin juga, kalau ceritanya sih seperti itu ya. Kemudian baru ketahuan pas usia 3 sampai 5 tahun kok dia bicaranya seperti ini, seperti telat perkembangannya. Akhirnya setelah di cek, oh ternyata anak itu dari sekian banyak ciri-ciri ternyata memenuhi, gitu. Seperti itu.” Ujar Bu N dalam wawancara di zoom.

Kebiasaan anak-anak autis sangat terganggu secara fisik maupun mental, bahkan seringkali mereka terisolir dari lingkungannya dan hidup dalam dunianya sendiri dengan berbagai gangguan mental dan perilaku. Perilaku itu biasanya sering bersikap semaunya sendiri tidak mau diatur, perilaku tidak terarah, agresif, menyakiti diri sendiri, tantrum (mengamuk), sulit konsentrasi, dan perilaku refetitif. Dyah Puspita (2003); dalam Suteja dan Wulandari (2013), mengungkapkan bahwa seorang anak disebut sebagai penyandang autistic spectrum disorder apabila ia memiliki gejala-gejala sebagai berikut:

  1. Gangguan komunikasi. Individu dengan gangguan autisme cenderung memiliki hambatan dalam mengekspresikan diri, sulit melakukan tanya-jawab, sering membeo ucapan orang lain, dan hambatan lainnya yang berkaitan dengan komunikasi.
  2. Gangguan perilaku. Individu dengan gangguan autisme cenderung berperilaku yang khas seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutar benda, mengetuk-ngetukan benda kepada benda lain, dan berbagai bentuk masalah perilaku yang tidak wajar bagi anak seusianya.
  3. Gangguan interaksi. Individu dengan gangguan autisme cenderung minim dalam melakukan interaksi dengan orang lain bahkan seusianya, sehingga ia seringkai merasa terganggu dengan kehadiran orang lain disekitarnya dan lebih senang hidup menyendiri.

Kemudian, berdasarkan hasil temuan lapangan melalui wawancara salah satu guru, siswa tersebut memiliki hambatan dalam berkomunikasi dengan orang lain dan berinteraksi dengan teman sebaya nya. Hal ini diketahui ketika ia sedang berinteraksi dengan orang lain, hanya mampu menatap lawan bicaranya selama 5 – 10 detik saja.

“Jadi selama satu tahun ini, anak tersebut mengalami hambatan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman sebaya. Dia senang keluar ruangan, lebih tepatnya bertemu dengan saya dan ke perpustakaan. Kemudian untuk kontak matanya sendiri itu cukup singkat, paling cuma 5 sampai 10 detik saja,” Ujar Bu N melalui wawancara di zoom.

Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, tanpa terkecuali. Berbicara gangguan autisme, tidak selalu merujuk kepada kekurangan. Sama hal nya dengan manusia pada umumnya, anak dengan gangguan autisme juga memiliki kelebihan yang mungkin saja tidak dimiliki oleh orang lain. Berdasarkan hasil wawancara, siswa tersebut memiliki tingkat kepekaaan yang cukup tinggi akan keberadaan orang lain yang senang atau tidak senang dengan dirinya. Selain itu, siswa tersebut juga mahir dalam sejarah dan sesuatu yang berkaitan dengan numeric, serta senang mencari informasi baru.

“Jadi memang mungkin ini anugerah juga ya, jadi anak tersebut tuh peka banget. Jadi dia tahu ketika guru itu memang sayang sama dia, dia tahu. Makanya dia jadi duduknya lebih lama gitu di kelas. Kalau misalkan dia tahu guru itu tidak suka sama dia, baru selesai doa juga pasti sudah pergi. Selain itu, dia juga suka banget menghafal tanggal lahir guru-guru karena kan emang berkaitan dengan angka (numeric) ya, dia paling inget. Kemudian terkait sejarah, dia inget nih pahlawannya siapa, sejarahnya apa. Begitu juga untuk mencari informasi baru, kalau  dia lagi suka MotoGP nah dia cari tuh infonya, terus terkait Covid berapa jumlah sekarang yang positif, nanti dia sebutin tuh berapa dan sebagainya.” Ujar Bu N dalam wawancara melalui zoom.

Penanganan pada anak autisme disesuaikan dengan hasil asesmen dari ahli. Menurut Dr. Handojo (2004:9), terdapat beberapa penanganan yang dilakukan pada penderita autisme, yaitu:

  1. Terapi perilaku, digunakan untuk mengurangi perilaku yang tidak lazim dengan cara terapi okuvasi dan terapi wicara.
  2. Terapi Biomedik, dengan cara mensuplay anak-anak autis dengan pemberian obat dari dokter spesialis jiwa anak.
  3. Terapi Fisik, bertujuan untuk mengembangkan, memelihara, dan mengembalikan kemampuan maksimal gerak dan fungsi anggota tubuh sepanjang kehidupannya.
  4. Terapi sosial, seorang terapis harus membantu memberikan fasilitas pada anak-anak autis untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya dan mengajari cara-caranya secara langsung.
  5. Terapi bermain, bertujuan agar anak-anak autis selalu memiliki sikap yang riang dan gembira terutama dalam kebersamannya dengan teman-teman sebayanya.
  6. Terapi perkembangan, pada terapi ini anak akan dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya sampai benar-benar anak tersebut mengalami kemajuan sampai dengan interaksi simboliknya
  7. Terapi visual, bertujuan agar anak-anak autis dapat belajar dan berkomunikasi dengan cara melihat (visual learner) gambar-gambar yang unik dan disenangi.
  8. Terapi musik, berujuan agar anak dapat menanggap melalui pendengarnnya, lalu diaktifkan di dalam otaknya, kemudian dihubungkan ke pusat-pusat saraf yang berkaitan dengan emosi, imajinasi dan ketenangan.
  9. Terapi obat, anak diberikan obat-obatan hanya pada kondisi-kondisi tertentu saja dan pemberiannya pun sangat terbatas karena terapi obat tidak terlalu menentukan dalam penyembuhan anak-anak autis.
  10. Terapi Lumba-lumba, bertujuan untuk menyeimbangkan hormon endoktrinnya dan sensor yang dikeluarkan melalui suara lumba-lumba agar dapat memulihkan sensoris anak penyandang autis.
  11. Sosialisasi ke sekolah reguler, jika anak tersebut sudah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik dapat dicoba untuk memasuki sekolah normal sesuai dengan umurnya tanpa meninggalkan terapi perilaku.
  12. Sekolah pendidikan khusus, karena di dalam pendidikan khusus biasanya telah mencakup terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okuvasi.

Pada akhirnya, autisme bukanlah sesuatu yang mengharuskan untuk berfokus kepada kekurangannya saja. Anak dengan gangguan autisme pasti mempunyai segudang potensi maupun kelebihan yang mungkin saja tidak dimiliki oleh orang lain. Ada terapi untuk menunjang hal tersebut. Kita semua sama, tidak kurang dan tidak lebih yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Sumber:

HIDAYATI, T. N. (2014). EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN TERAPI PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM (PECS) TERHADAP KOMUNIKASI VERBAL PADA ANAK AUTIS. Surabaya: Skripsi, UIN Sunan Ampel.

Maisaroh, F. (2018). HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG DIET AUTISME DENGAN FREKUENSI KONSUMSI GLUTEN DAN CASEIN PADA ANAK AUTIS DI YAYASAN TALENTA SEMARANG. Semarang: Skripsi, Universitas Muhammadiyah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline