Lihat ke Halaman Asli

Gowes Buku, Gowes Sambil Berbagi Buku, Pekalongan-Boja [Bag.1]

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1366335454613998484

Buku-buku yang kubagikan

Bagian 1: Kayuhan Pertama

Waktu hampir mendetak pukul 00.01 malam, pergantian hari Kamis menuju Jumat, 12 April 2013, tetapi mataku belum juga terpejam. Seperti biasanya, menjelang tidur selalu menjadi arena bagi pikiran-pikiran tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan untuk berlomba-lomba memadati pikiran. Ada kenangan-kenangan, ada kenyataan-kenyataan, juga ada rencana-rencana. Dan rencana terdekat yang akan aku lakukan pada Jumat pagi nanti adalah mewujudkan salah satu rencana gila yang sudah sejak lama aku pikirkan: mengayuh sepeda dari Pekalongan menuju Boja, tepatnya ke Pondok Maos Guyub yang berlokasi di Jalan Bebengan, untuk menghadiri acara tahunan, Parade Obrolan Sastra VI. Awalnya, rencanaku hanyalah bersepeda tok, tetapi setelah aku timbang-timbang lagi, itu tidak akan istimewa, karena pastinya sudah banyak yang melakukannya dengan menempuh jarak yang lebih jauh daripada jarak yang nanti aku tempuh. Dari penelusuran, Jarak Pekalongan-Semarang kurang lebih 101 km, dan jarak Semarang-Boja kurang lebih 20 km, total 120 km, jauh lebih pendek daripada jarak keliling Jawa bahkan Indonesia, yang beberapa orang sudah pernah menempuhnya dengan bersepeda. Maka, aku mendapat gagasan untuk memadukan laku bersepeda ini dengan laku buku, yakni sambil bersepeda, aku akan membagikan buku kepada orang-orang tertentu yang aku temui di jalan nanti, atau meletakkan buku di beberapa tempat tertentu untuk diambil oleh orang lain yang terpanggil untuk mengambilnya. Dan sepengetahuanku, ini belum pernah dilakukan, baik oleh pegiat bersepeda maupun oleh pegiat buku.

Menunggu tibanya waktu untuk melakukan rencana besar dan gila selalu membuat gelisah dan tak sabar. Ada rasa khawatir, bagaimana jika muncul hal-hal tertentu di luar kuasa manusia yang pada akhirnya membuat rencana yang telah dipersiapkan menjadi gagal atau batal. Seperti faktor cuaca, misalnya. Beberapa hari ini Pekalongan diguyur hujan, dan jika Jumat pagi nanti hujan tiba-tiba mengguyur, aku pastinya akan berpikir dua kali untuk melanjutkan rencana, meskipun aku sudah mempersiapkan mantel hujan. Mantel itu kupersiapkan untuk hujan yang mengadang di tengah perjalanan, bukan hujan yang mengadang di awal perjalanan. Dan pikiran-pikiran seperti ini semakin membuatku sulit tidur, bahkan hingga waktu hampir masuk pukul satu dini hari. Tinggal empat jam sebelum aku harus bangun untuk bersiap-siap. Ini gawat, jika aku tidak kunjung tidur, maka waktu istirahatku semakin berkurang, dan itu akan berpengaruh pada kondisi fisikku nantinya. Akhirnya aku pasrah saja, mengosongkan pikiran dari kekhawatiran-kekhawatiran dan bayangan-bayangan yang mungkin terjadi, berserah saja pada apa pun yang akan terjadi nanti.

Entah pukul berapa aku jatuh terlelap, tiba-tiba alarm pukul lima pagi membangunkanku. Aku pun bergegas. Peralatan dan perlengkapan perang yang sudah aku persiapkan semalam aku periksa lagi untuk memastikan tidak ada yang terlewat. Satu ransel—cukup berat—berisi baju-baju dan buku-buku (13 buku) dan satu tas paha kecil berisi peralatan lainnya. Jangan bayangkan ketiga belas buku itu buku-buku tipis yang ringan, ketebalan kesemua buku itu beragam, dari 150-an halaman sampai 500-an halaman lebih. Buku-buku yang aku bawa adalah: Dua buku karyaku (Dongeng untuk Allea), satu buku terjemahanku (Sekolah untuk Kaum Miskin), tiga buku suntinganku (The Magic Life, kumpulan cerpen Guy de Maupassant Cinta Sejati, dan Kemboja Bercerita), dua buku anak karya Philip Pulman, dua buku anak karya Roald Dahl, kumpulan cerpen Anton Chekov Kenangan Cinta, Casper kucing lucu, novel Maria, novel Firebelly, dan novel Ayahku (bukan) Pembohong. Bagi yang mengetahui buku-buku tersebut, silakan bayangkan saja berapa berat dan volume kesemuanya, ditambah mantel hujan, sandal, dan beberapa potong pakaian. Sementara di tas paha kecil aku menaruh multitools, kamera digital kecil, dan peralatan bepergian lainnya yang berukuran kecil.

Sudah aku putuskan tidak akan membawa laptop, karena selain akan menambah berat beban ransel yang sudah cukup berat, juga sudah tidak ada ruang lagi, ransel sudah menggembung dengan kapasitas maksimal. Beruntung saat ini sedang tidak ada job penerjemahan ataupun penyuntingan.

Pukul 06.00 aku mulai memancal kayuhan pertama setelah berpamitan kepada kedua orangtua. Sampai pertigaan Podo, 1 km dari rumah, aku berpapasan dengan beberapa pesepeda yang kukenal dan saling melambaikan tangan. Dengan penampilanku yang menggendong ransel besar dan tas paha, tentu saja mengundang mereka bertanya aku mau ke mana. Semarang, aku teriak sambil terus melaju. Pada kilometer kedua dari rumah aku merasa ada yang agak aneh. Telapak tanganku terasa dingin. Pantas saja, aku lupa memakai sarung tangan. Langsung saja aku berbelok dan kembali ke rumah untuk mengambil sarung tangan. Padahal semalam sudah aku letakkan di sebelah ransel.

Memastikan tidak ada lagi yang ketinggalan, aku kembali meluncur menyusuri jalan Kedungwuni-Pekalongan di bawah naungan langit pagi yang agak mendung. Tempias air terasa berjatuhan dari langit, tapi bukan gerimis, mungkin sisa-sisa embun. Sambil terus mengayuh aku berharap tidak turun hujan. Atau setidaknya, hujan jangan turun dulu sebelum aku sampai di luar kota, karena kulihat di arah timur sana, langit sepertinya agak cerah kekuningan daripada langit Pekalongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline