Tentunya sudah tidak asing lagi mendengar kata NPWP di telinga kita. Sebagaimana yang telah didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (6) UU KUP, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan nomor identitas yang digunakan wajib pajak dalam administrasi pelaksanaan hak dan/atau kewajiban perpajakan.
Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri di KPP untuk selanjutnya mendapatkan NPWP. Berdasarkan surat edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-60/PJ/2013, setiap Wajib Pajak (WP) hanya diberikan satu NPWP. Terhitung sejak 1 Januari 2024 NIK secara resmi akan menggantikan NPWP 15 digit, hal ini telah termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/2023 yang menjadi pengganti PMK 112/2022.
Lantas, apa saja ketentuan dan keuntungan NPWP yang digabung bagi suami istri?
Fenomena pasangan suami istri yang sama-sama bekerja dan mendapatkan penghasilan menjadi hal yang lumrah di era sekarang. Suami dan istri yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif memiliki tanggungjawab untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Kewajiban ini dapat disederhanakan dengan cara menggabungkan NPWP milik suami dan istri.
Pada hakikatnya hal ini telah diatur dalam ketentuan perpajakan, salah satunya tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak PER-20/PJ/2013 yang menyebutkan mengenai penyederhadaan kewajiban bagi wanita kawin untuk dapat menggunakan NPWP suami dalam urusan administrasi perpajakannya. Kendati demikian, wanita kawin memiliki opsi dalam penggunaan NPWP, berikut penjelasannya:
Wanita kawin menggunakan NPWP suami, apabila:
- Menghendaki penggabungan pelaksanaan perpajakan, yakni dengan menghapus NPWP istri apabila sebelumnya telah memiliki NPWP
- Suami meninggal dan meninggalkan harta warisan yang belum terbagi
Wanita kawin menggunakan NPWP sendiri, apabila:
- Hidup terpisah berdasarkan Keputusan hakim
- Menerapkan pemisahan harta secara tertulis
- Menghendaki pemisahan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan tanpa Keputusan hakim/tidak terdapat pemisahan penghasilan dan harta
- Bercerai
- Menikah setelah suami meninggal dan meninggalkan harta warisan yang belum terbagi
- Warisan yang ditinggalkan suami telah dibagi seluruhnya.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan NPWP tidak diwajibkan bagi istri yang secara bersama-sana memenuhi hak dan atau/ kewajiban perpajakannya dengan suami. Jika penghasilan istri dan suami digabungkan serta sebelumnya istri telah memiliki NPWP sebelum kawin, maka harus mengajukan penghapusan. Hal ini dapat dilakukan dengan melampirkan formulir, dokumen pendukung, serta surat pernyataan istri bahwa tidak membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau tidak ingin melaksanakan pemenuhan hak dan/atau kewajiaban perpajakannya secara terpisah.
Meski demikian, istri tetap perlu melakukan validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) miliknya. Sebab, meskipun kewajiban perpajakannya digabung dengan suami melalui pelaporan SPT, suami tetap memasukkan NIK istri dalam daftar anggota keluarga (family tax-unit) yang tersedia di akun DJP online.
Termasuk penghasilan istri yang telah dipotong PPh pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya, maka PPh Pasal 21 yang telah dipotong bersifat final. Secara terpisah, perhitungan pajak pengahsilan bagi suami-istri yang menjalankan kewajiban perpajakannya dengan cara digabung, ketentuan perhitungan perpajakannya telah diatur dalam pasal 8 ayat (1) UU PPh.
Bukti potong yang diserahkan oleh pemberi kerja istri akan digabungkan dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan dilaporkan oleh suami. Jadi, penghasilan istri cukup dilaporkan dalam lampiran SPT 1770 S tersebut tanpa harus menggabungkan penghasilan neto suami. Dalam artian, SPT Tahunan PPh suami akan bersifat nihil serta tidak ada risiko sanksi administrasif terkait NPWP istri.