Lihat ke Halaman Asli

Peran "Big Data" dalam Kebijakan Impor Beras

Diperbarui: 17 September 2018   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(fancouwa.com)

Beras merupakan komoditas pertanian yang terpenting dan sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Terganggunya produksi dan pasokan beras akan memberikan dampak signifikan bagi sektor lainnya seperti  sektor perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia merupakan salah satu negara produsen beras terbesar ketiga di dunia, data FAO mencatat Indonesia di tahun 2016 mampu memproduksi sebesar 77.297.509 ton beras. Walaupun jumlah produksi beras Indonesia terbesar ketiga di dunia, namun belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras dalam negeri.

Ketahanan stok beras Perum Bulog cukup fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada 2011, cadangan beras hanya 1,03 juta ton kemudian meningkat menjadi 2,32 juta ton pada 2012. Setelah itu terus menyusut menjadi 1,32 juta ton pada 2015. Lalu pada akhir 2016, cadangan beras Bulog kembali meningkat menjadi 1,62 juta ton.

Menyusutnya cadangan Bulog tersebut membuat pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton. Awalnya, impor beras ditugaskan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI, tapi akhirnya diserahkan kepada Bulog.

Kebijakan impor sebanyak 500.000 ton  beras di awal tahun 2018 seharusnya tidak menjadi kontroversi jika sejak awal kementerian terkait sudah mempunyai satu kesatuan utuh dalam hal pengelolaan data dan sumber data. Perbedaan data di Kementerian Pertanian dan Perdagangan menunjukkan pengelolaan data di pemerintahan masih belum satu kesatuan dan satu sumber.

Metode pengumpulan data yang digunakan juga berbeda antara satu instansi dengan instansi lainnya. Perbedaan ini menyebabkan kekeliruan dan perbedaan dalam menafsirkan data tersebut dan terjadi perbedaan pandangan dalam pengambilan kebijakan impor beras.

Kebijakan yang diambil Kementerian Perdagangan untuk memberi izin impor beras tahap II kepada Bulog sebesar 500.000 Ton menimbulkan kontroversi. Protes dilakukan oleh Kementerian Pertanian.

Perbedaan data antar instansi tersebut terkait stok beras nasional menyebabkan perbedaan penafsiran dan perbedaan kebijakan yang diambil, sehingga kebijakan yang diambil tersebut tidak sejalan dan menambah kerumitan dalam pembahasannya.

Data stok beras nasional dari Kemendag dan Kementan ini tidak sinkron dikarenakan perbedaan dari cara melihat dan mencari data. Kementan melihat data dari produksi komoditas beras sedangkan Kemendag dari situasi pasar saat ini.

Data yang diperoleh dari Foreign Agriculture Service (2018) yaitu lembaga yang bergerak dibidang data-data pertanian menginformasikan bahwa di Indonesia data pertanian khususnya beras dari tahun ke tahun terus mengalami perbedaan standar deviasi yang besar. Di tahun 2015 deviasi produk pertanian beras sebesar 21%, naik menjadi 24% ditahun 2016, dan terus naik di tahun 2017 menjadi 28%.

Semakin lebarnya devisi produk pertanian ini mengindikasikan bahwa ada masalah serius dalam pengelolaan data pertanian di Indonesia. Data yang tidak valid ini akan merugikan semua pihak mulai konsumen, produsen, dan pelaku usaha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline