Hari ke-4 tahun baru 2016. Setelah liburan yang tidak libur benar; Ingatan tentangmu kembali menguasai pikiranku. Tak bisa kutahan untuk tidak membayangkan dirimu dalam mengisi tahun ini dan tahun-tahun ke depan. Adakah engkau bakal tetap indahnya? Adakah hutanmu akan tetap lebat? Sungaimu tetap jernih mengalirkan air kehidupan? Kekayaan dalam perut bumimu tetap terjaga dengan baik? Boleh digali dengan aturan, diolah dengan aturan, dijual untuk kebaikan orang-orang Kaltara sendiri. Setujukah engkau denganku, bahwa setiap penyusutan sumber daya alam itu harus simetris dengan peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia Kaltara sendiri? Bukan simetris dengan penambahan kekayaan segelintir orang di Kaltim dan Jakarta, yang tidak pernah engkau kenal?
Ups! Maafkan aku jika masih saja menyebut dua nama itu dengan segala kecemasan. Bukan apa-apa. Aku sudah mengenal mereka dengan baik. Sudah kuikuti sepak terjang mereka bertahun-tahun lamanya. Dua nama itu sudah terkenal ke seluruh dunia akan kepandaiannya. Kepandaian menyakiti bumi. Membabat hutan dan menggali tanahnya sendiri untuk menambah pundi-pundi kekayaan orang-orang yang—lagi-lagi-- tidak pernah engkau kenal. Yang tidak pernah memerlihatkan batang hidungnya di antara kalian. Apalagi bertegur sapa dan beramah-tamah.
Tidak. Tidak mungkin itu terjadi. Ramah tamah antara penguasa-pengusaha korporasi tambang-tambang besar di Kaltim dengan kalian, orang-orang Kaltara. Mereka berada di ketinggian yang tidak terkira. Bepergian ke negeri-negeri indah nan jauh. Berbelanja segala barang-barang mewah. Pakaian mereka necis dan perlente. Hiburan mereka serba mahal. Tidak pernah mengucurkan keringat sebanyak kalian yang harus bekerja keras setiap hari. Kalaupun mereka harus berkeringat, mereka akan berkeringat di tempat-tempat gym dan fitness, yang iuran per bulannya berlipat-lipat besarnya dari gaji-gaji bulanan kalian. Dan mereka, mungkin sebentar lagi, akan juga membabat hutan dan menggali perut bumi Kaltara, seperti yang sudah mereka lakukan di Kaltim. Tanpa perlu bagi mereka untuk memerlihatkan tampangnya di depan kalian.
Uang yang mereka keluarkan tempo hari itu, untuk membeli suara-suara kalian pada pemilihan kepala daerah 9 Desember 2015, tidak seberapalah nilainya. Berapa coba yang kalian terima? 100? 200? 300? Paling tinggi 500 ribulah setiap orang. Tapi, ada juga beberapa orang yang menerima lebih banyak. Ya, mereka, mereka yang punya jabatan dalam prosesi pesta demokrasi atau segala hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah itu. Bisa puluhan, bahkan mungkin ratusan juta. Ada juga kudengar, sampai hitungan miliar.
Petugas pengawas dan kemanan, misalnya. Tak mungkin mereka berpihak tanpa alasan, bukan? Tak mungkin mereka membuta-tuli pada segala pelanggaran yang terjadi, jika tidak ada yang menjadikannya begitu, bukan? Tak mungkin mereka berani menangkap tokoh Kaltara yang terhormat itu jika tidak ada jaminan dan kepentingan, bukan? Susah diterima akal sehat. Ada gitu calon wakil gubernur yang langsung ditangkap dan dijadikan tersangka hanya dalam hitungan kurang dari satu minggu setelah kerusuhan yang kaitannya sengaja dibuat-buat dan diada-adakan? Tapi, bisa apalah kita? Merekalah yang berseragam, merekalah yang berkuasa. Merekalah yang menentukan hitam-putih kebenaran.
Ah, sebelum terlalu jauh. Aku ingatkan lagi, kenapa aku begitu cemas dengan nasib Kaltara? Ini sebentar lagi, sebentar lagi. Tinggal beberapa hari lagi. Akan keluar putusan Mahkamah Konstitusi atas pengaduan para pejuang-pendiri Kaltara. Adakah mereka akan mendapat keadilan? Atau hanya akan menjadi mangsa tak berdaya saja? Engkau tentu masih ingat, ketika borok yang busuknya minta ampun itu pernah terkuak di lembaga hukum yang terhormat itu. Derajat keadilan mereka ukur dengan angka-angka rupiah.
Para pejuang-pendiri Kaltara, tidak mungkinlah punya banyak uang untuk membayar mereka. Namanya juga pejuang. Dan kalaupun ada, pastilah mereka tidak mau melakukannya. Seperti tidak maunya mereka membeli suara-suara kalian pada Pilkada 9 Desember itu. Lain halnya orang Kaltim itu. Jika mereka sanggup membeli suara kalian, pastilah sanggup juga mereka membayar orang-orang berpakaian hitam di mahkamah yang terhormat itu. Kita tunggu. Lihat saja. Setelah itu, barulah kita tentukan langkah dan sikap berikutnya. Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H