Lihat ke Halaman Asli

Naif (jika) Memahami Pilkada Kaltara sebagai Pesta Demokrasi Biasa

Diperbarui: 23 Desember 2015   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekuatan besar nan rakus yang bersembunyi selama ini, sekarang mulai menampakkan diri. Mereka melihat Bumi Borneo tak lebih dari sepetak tanah timbunan kekayaan. Permukaan tanahnya untuk ladang sawit. Hutan lebat sebagai habitat ribuan spesies yang hidup di dalamnya harus dibabat untuk dijadikan perkebunan. Dibakar jika perlu. Di dalam tanah Borneo tersimpan sumber energi, batu bara, minyak bumi, juga gas alam. Gali terus digali. Hisap terus dihisap. Dan kekayaan alam Borneo akan terus mengalir ke dalam pundi-pundi harta mereka. Batu bara, minyak, gas dan sawit menjadi dollar. Dollar menjadi Rupiah. Semakin tinggi Dollar semakin menguntungkan. Perkara manusia yang telah hidup ribuan tahun di tanah Borneo akan menjadi tiada beda nasibnya dengan ribuan spesies yang telah punah. Mereka boleh bertahan hidup. Tapi harus berevolusi menjadi seperti mereka: menjadi manusia rakus.

Serakus-rakusnya binatang, ia akan berhenti setelah perutnya kenyang. Tapi manusia? Setelah mengeksploitasi 7 juta hektar lahan tambang di Kaltim (data tahun 2013), dia masih akan terus mengobrak abrik hutan dan perut bumi Kalimantan. Sudah 70 persen lebih wilayah Samarinda menjadi lahan tambang. Lebih luas dari lahan pertaniannya. 200 juta ton batu bara digali dan dikirimkan dari Kaltim setiap tahun. Tapi di bumi Kalimantan masih sering terjadi pemadaman listrik. Listrik byar-pet adalah masalah konstan di Kaltim. Tapi penghisapan atas kekayaan alam Kalimantan tidak boleh berhenti. Harus terus berjalan. Harus terus diperluas. http://foto.kompas.com/photo/detail/2013/12/05/66789165313441386176442/7/bumi-kalimantan-hancur-oleh-tambang-batu-bara

AWALNYA

Di sinilah segalanya dimulai. Setelah perjuangan 13 tahun, akhirnya Kaltara lahir dan berdiri, 25 Oktober 2012, berdasarkan UU No. 20 tahun 2012. Jika pemerintahan baru yang mengabdikan kerjanya hanya untuk masyarakat benar-benar terwujud di Kaltara, lahan tambang dan perkebunan sawit yang sangat potensial menjadi tidak mudah untuk dihisap dari Kaltara. Tiada cara lain Kaltara harus tetap mereka kuasai dengan satu atau lain cara. Biarlah Kaltara menjadi sebuah provinsi, tapi tidak lebih sebagai nama belaka, entitas birokrasi dan administrasi saja. Rencana canggih mulai disusun diawali dengan menempatkan Sekprov Kaltim Irianto Lambrie sebagai Pj. Gubernur Kaltara. Status hukumnya sebagai tersangka, biarlah disembunyikan sebisa mungkin: http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=6990&l=pemeriksaan-kasus-korupsi-sekprov-kaltim-irianto-lambrie-diwarnai-demo

Tiga hari setelah pelantikannya sebagai Pj. Gubernur Kaltara, Irianto segera menyatakan secara terbuka bahwa ia tidak akan maju menjadi calon gubernur Kaltara. Maksudnya, agar dirinya tidak dianggap sebagai ancaman oleh tokoh-tokoh Kaltara lain. Dengan begitu dia akan memiliki cukup waktu untuk mendongkrak popularitas dan citra dirinya. Dimulailah kampanye terselubung. Slogan, “KALTARA TERDEPAN” dibunyikan jauh-jauh hari. Sticker, poster, kalender, yang memasang foto dirinya bertebaran di mana-mana. Jelas, semuanya menggunakan uang negara untuk kepentingan popularitasnya. Meski begitu, masyarakat masih belum menyadari bahwa Irianto sedang menyiapkan dirinya sendiri untuk menjadi calon Gubernur Kaltara. http://www.tribunnews.com/regional/2013/04/25/pj-gubernur-kaltara-irianto-lambrie-komitmen-tak-ikut-pilgub

Mendekati masa kampanye, sebelum secara terbuka mencalonkan diri, Irianto melakukan lobi-lobi partai terlebih dahulu. Didatanginya partai-partai besar di Jakarta. Digalangnya untuk mendukung dirinya. Hasilnya memuaskan, tokoh-tokoh Kaltara lain tidak bisa mencalonkan diri karena tiadanya dukungan Parpol. Berapa miliar uang dikeluarkan Irianto Lambrie untuk mendapatkan dukungan banyak Parpol itu, hanya dia sendiri yang tahu. Dari mana dia bisa mendapatkan uang dengan jumlah sebesar itu, jelas bukan perkara. Ada puluhan perusahaan tambang besar di Kaltim yang bersedia menjadi cukongnya.

Tinggallah kini dua pasangan calon. Irianto berpasangan dengan Udin Hiangio menghadapi Jusuf SK-Marthin Billa. Bukan kebetulan, jika akhirnya dua tokoh utama Kaltara berhadapan dengan perpanjangan tangan kepentingan Kaltim-Jakarta. PASANGAN PEJUANG versus IRAU. Tapi masyarakat Kaltara sangat tidak memahami konteks keseluruhan pertarungan kedua pasangan ini. Ini adalah pertarungan Kaltim yang bersekongkol dengan perusahaan tambang di Kaltim menghadapi dua tokoh utama Kaltara.

PASANGAN PEJUANG hanya bermodal dukungan masyarakat. IRAU memiliki sumber daya: uang dan jaringan yang melimpah. Dengan pengerahan uang dan jaringan ini, hasil Pilkada bukan hanya mudah diprediksi, tapi bisa ditentukan. Birokrasi Pemprov Kaltara sudah dia tempa selama hampir 2 tahun dirinya menjabat Pj. Gubernur. Bantuan-bantuan dana kepada masyarakat mengalir lewat tangannya sendiri. Aparat Sipil Negara mulai merasa diuntungkan, kemudian berharap lebih. Ini jadi keuntungan untuk Irianto. Birokrasi Pemprov Kaltara kemudian menjadi pengabdi dirinya, bukan untuk melayani masyarakat Kaltara.

Belum cukup. Jika mengandalkan suara dari warga asli Kaltara, jelas tidak ada harapan. Jumlah pendukungan PASANGAN PEJUANG masih terlalu besar. Dimulailah program transmigrasi. Sebanyak 40 ribuan transmigran ke Kaltara sudah tercatat sampai saat ini. Jumlah ini adalah 10 persen dari total penduduk Kaltara. Mereka, para transmigran itu, tidak memiliki ikatan emosional apapun kepada Pasangan Pejuang. Maka akan dengan mudah diarahkan untuk memilih dirinya. Inilah sesungguhnya lumbung suara IRAU.

Belum cukup juga. Penyelenggara Pilkada harus diintervensi. Birokrasi Pemprov Kaltara bisa melakukannya. Dari hasil pemetaan, pastilah terlihat di mana saja keberadaan para pendukung Pasangan Pejuang itu. Kota Tarakan adalah lumbung suara Pasangan Pejuang. Di sanalah, 43 ribu formulir C6, undangan untuk memilih tidak dibagikan oleh ketua-ketua RT setempat kepada warganya. Kabar semerbak, Ketua-ketua RT itu disiram uang 40 juta rupiah untuk tidak membagikan formulir C6 itu kepada para pendukung pasangan pejuang. Dan setiap TPS dibatasi hanya 5 orang saja yang boleh menggunakan KTP-nya untuk dijadikan syarat mencoblos.

Di Nunukan, jauh-jauh hari, tokoh-tokoh lokalnya sudah diijon. Uang sudah di tangan mereka, dan para tokoh lokal itu tinggal membagikannya kepada siapa saja yang bersedia memberikan suaranya kepa IRAU. Tidak perlu serangan fajar, karena waktunya sangat mepet, jika uang dalam jumlah besar didistribusikan dalam satu hari. Meski begitu tetap juga ada satu dua yang kemudian diketahui oleh masyarakat dan media. Ada saksi, ada suara pengakuan. Tapi tidak digubris oleh KPU dan Bawaslu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline