Lihat ke Halaman Asli

Politik Citra ala Jokowi

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bila dilakukan survei saat ini, gambaran (citra) yang bakal muncul di benak publik tentang sosok Jokowi pastilah positif. Dia jujur, berpretasi, bersih dan sederhana. Bagaimana citra ini terbentuk, inilah modusnya.

Pamor Jokowi di pentas nasional dilambungkan oleh ‘cerita’ penolakannya atas rencana Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo untuk menjual aset Pemerintah Daerah Jateng yang ada di Kota Solo. Konon aset tersebut adalah cagar budaya. Jokowi menolak karena aset berupa lahan itu akan dijadikan mal atau supermarket. Disebut sebagai Walikota bodoh oleh sang gubernur, Jokowi meresponnya ala seorang taichi master, membalikan pukulan lawan untuk memukul balik. Jadilah Jokowi sebagai sosok pemberani dan merakyat. Berani melawan kuasa gubernur dan pengusaha, pro ekonomi kerakyatan.

Aksi berikutnya lebih karikatural. Jokowi tampil sebagai tokoh pembela kepentingan nasional lewat cerita mobil Esemka. Rintisan mobil itu sebenarnya hasil kerja keras orang lain, Sukiyat, yang diambil alih Jokowi untuk kepentingan popularitas. Sukiyat sendiri kemudian mengakui mobil terbut sebenarnya hanya mobil rakitan, buatan ala kadarnya, bukan rintisan untuk mobil nasional. Terbukti, mobil rakitan itu tak lolos uji emisi. Tidak laik pakai.

Selanjutnya Jokowi memasuki Jakarta. Pra kondisi yang terbangun untuknya sudah cukup memadai untuk meraih simpati publik, terutama media massa. Adegan pencalonannya kemudian dibuat menjadi dramatis. Jokowi mematok 2 syarat; hanya mau dicalonkan oleh PDI Perjuangan dan hanya untuk posisi calon gubernur. Jokowi tampil beda, simpati makin membesar. Pertaruhan syarat dimenangkannya, tapi dengan kompromi politis berisiko besar.Atas desakan Prabowo, Dewan Pembina Partai Gerindra, Jokowi akhirnya menerima Ahok sebagai calon wakilnya. MeskiAhok tidak populer, beragama Kristen dan keturunan Cina.

Politik adalah persepsi. Segala apa yang kita pahami sebagai kenyataan, sesungguhnya hanyalah citra yang tertangkap oleh pikiran kita. Citra dalam pikiran tidak mungkin sama dengan kenyataan, bahkan lebih sering bertolak belakang. Citra lebih mudah diubah dan dibentuk, sementara kenyataan jauh lebih sulit.

Jokowi lebih maju dari SBY dalam menjalankan politik pencitraan. Dengan sedikit modifikasi, Jokowi telah mengembangnya sehingga menjadi khas ala Jokowi. Berikut formulanya:

Berpusat pada dirinnya sendiri. Merekayasa segalanya seakan terkait dengannya. Mengambil posisi sebagai pihak yang teraniaya untuk mendapatkan simpati publik. Mengidentifikasi sebanyak mungkin orang dengan dirinya (baju kotak-kotak). Menjaga sikap ambigu terhadap hal-hal yang harusnya disikapi dengan jelas. Memakai nalar publik (common sense) dan menyederhanakan persoalan hingga menjadi hitam putih, bahkan kontras kelihatannya. Untuk hal yang tidak boleh dilawan, dilakukan afirmasi total, misalnya segera melakukan umroh agar absah sebagai bagian dari kelompok muslim yang jumlahnya mayoritas di DKI Jakarta.

Megawati, Prabowo, dan belakangan Jusuf Kala (JK) hanya dipakai sebagai latar, pendukung yang berdiri di belakangnya. Jokowi tetap menempatkan diri sebagai pusatnya, meskipun dalam retorikanya selalu merasa sebagai orang yang tersudut dan teraniaya.

Serangan kadang diciptakannya sendiri. Misalnya ketika isu SARA merebak. Jelas, kesadaran publik akan determinannya politik identitas muncul belakangan. Bukan diciptakan oleh kubu Fauzi Bowo. Ia mulai marak dan menjadi diskursus publik pasca putaran pertama. Karena terus menguat dan merugikan dirinya, Jokowi mengubah mengubah arena tarung. Dia mulai beretorika untuk menghambat penguatan isu SARA. Dia semakin bersemangat setelah melihat banyak pihak mengamininya. Berulang-ulang dia menegaskan dirinya sebagai objek serangan. Semakin tersudut semakin baik, semakin memikat.

Publik Jakarta sudah lama terdidik oleh cerita-cerita sinetron, dan sudah matang ketika harus menjadikan seorang teraniaya sebagai pahlawan. Jokowi sadar diri, sadar media, dan menggunakan dengan sebaik-baiknya. Merintih-rintihlah dia sebagai orang yang teraniaya oleh segala isu negatif tentang dirinya. Publik Jakarta pasti mengasihaninya. Pasti enggan mencari tahu asal muasal segala isu itu, lebih suka memercayainya, dan cenderung tidak percaya akan segala isu negatif tentang Jokowi.

Jokowi sadar sesadar-sadarnya, bahwa citra ambisius sangatlah tidak baik diperlihatkan. Semakin tersembunyi, semakin baik, semakin memikat. Dia terus menahan diri untuk tidak melakukan tindakan apapun sampai dorongan terhadap dirinya cukup besar untuk mengambil suatu tindakan. Ini terjadi ketika pencalonan dan pendaftaran dirinya ke KPUD DKI. Jokowi terus didorong-dorong. Tidak mencuat sedikitpun di media massa bahwa dia sangat menginginkan kekuasaan Gubernur DKI Jakarta. Tidak ada media yang mengungkap bahwa alasan Jokowi maju di Pemilukada DKI karena melihat besaran APBD Ibu kota, yang dibandingkannya dengan Solo. Jokowi hanya menceritakan ini dengan orang-orang terdekatnya yang terpercaya. Itupun dengan ungkapan yang samar.

Dalam khasanah Jawa, semakin samar, semakin multi tafsir, semakin baik, dan lagi-lagi semakin memikat. Modus ini dipakainya juga ketika dia harus menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya. Segalanya tampak samar dan kabur. Multi tafsir. Bahkan misterius. Publik dibiarkan menebak-nebak sendiri. Seperti kebijakan presiden Soeharto, seperti pembawaan SBY, dan sekarang seperti yang diperlihatkan Jokowi sendiri.

Jokowi tidaklah lugu dan naif. Dia cerdas, bahkan sangat cerdas. Dalam khasanah Jawa, menyembunyikan ambisi adalah perkara paling penting dalam meraih kuasa. Pulung, wangsit, atau handaru, hanya datang dari langit untuk seseorang tanpa diminta, tanpa diusahakan. Dia ingin mendapatkan pulung itu. Maka ambisinya tidak boleh terlihat. Semakin tampak tidak berambisi, semakin baik, lagi-lagi semakin memikat. Hanya kesadaran kritis yang sanggup menghilangkan pengaruh sihir dari kebohongan yang telah dibangunnya dengan apik. Hingga kontras citra dengan kenyataan menjadi jelas terlihat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline