Pagi ini, gegap gempita warga Negara Kesatuan Republik Indonesia menyambut detik-detik peringatan HUT ke 74 Republik Indonesia. Rangkaian kegiatan upacara peringatan, kegiatan dalam rangka bulan kemerdekaan, diskon belanja sampai remisi buat para Narapidana.
Merdeka adalah bebas dari segala bentuk penjajahan, bebas dari belenggu kejahatan, bebas dari penindasan, bebas dari tekanan.
Kemeriahan peringatan HUT ke 74 RI seperti tahun - tahun sebelumnya mulai dari panjat pinang, lomba tarik tambang sampai lomba bapak-bapak main futsal pakai daster. Semua wujud kemerdekaan, sebagai simbol kebebasan.
Benarkah sudah bebas? Atau tahap ini adalah proses belajar merdeka? Atau sekadar hiburan dihari kemerdekaan?
Nyatanya adalah masih banyak pejuang melawan kemiskinan, masih banyak yang lagi berjuang melawan kebodohannya. Tak sedikit yang belum jelas jati dirinya. Khususnya para pelajar Indonesia.
Di jaman milenial sekarang ini, informasi dengan segala perangkatnya semakin canggih. Mulai dari Hardware sampai software tersedia dan mudah diperoleh.
Sekitar 15o juta dari 250 juta penduduk Indonesia, yakni lebih 50 persen sudah menggunakan handphone dan smartphone. Melalui kedua alat ini, segala informasi mudah diakses. Tidak terbatas informasi dalam negeri, informasi antar benua pun tidak lagi sulit. Bahkan transaksi antar negara dengan mudah dapat dilakukan.
Lebih dari 90% pelajar saat ini telah memiliki akun media sosial, yang diartikan bahwa lebih 90% mampu mengakses dunia. Namun, kenyataannya tingkat keilmuan pelajar saat ini masih jauh dari negara-negara lain, bahkan sesama negara berkembang.
Apakah pelajar kita sudah merdeka? Atau sedang dijajah? Dijajah oleh teknologi digital? Jawabannya adalah bisa jadi.
Beberapa kasus yang sering kami temui saat ini di lingkungan sekolah, bukan lagi kenakalan remaja seperti 10 tahun silam, yakni perkelahian pelajar, bukan lagi masalah pergaulan bebas, yang angkanya cenderung menurun. Yang dihadapi saat ini adalah minat belajar yang terganjal dengan kegiatan online sehingga konsentrasi terpecah dan diblok oleh mabar (main bareng).
Kegiatan mabar bisa dilakukan sepanjang hari, tidak kenal siang tak tau kalau sudah malam menjelang pagi lagi. Dengan dunia nyata kadang terasa asing. Alhasil, segala aktifitas fisik dan interaksi sosial terganggu. Bagi pelajar, kegiatan belajar jadi terpinggirkan. Titik fokus tidak ada, dan dengan entengnya menjawab "mengantuk bu".