Lihat ke Halaman Asli

Peran yang Otentik dalam Pilihan Hidup

Diperbarui: 20 Mei 2024   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar. Denise Grunstein. Facebook How art you today?

Semua orang mempunyai peran dalam hidupnya. Entah ia sebagai, warga negara, pekerja, masyarakat, dan dalam rumah tangga. Peran-peran tersebut bertujuan untuk mempertahankan kehidupan manusia, baik di kehidupan masyarakat atau untuk kehidupannya sendiri.

Namun pada peran-peran tersebut memiliki banyak kendala yang kompleks. Sehingga merusak tatanan kehidupan mulia yang dicita-citakan oleh umat manusia. Kita patut berpikir kembali, mencari penyebab mengapa orang-orang menjadi seperti berkhianat pada pilihannya sendiri.

Manusia dikutuk untuk bebas, demikian apa yang dikatakan seorang filsuf eksistensialis dari Prancis ini, Jean Paul Sartre. Manusia terlahir dengan kebebasan yang dibawanya sejak lahir. Ia berhak untuk memilih dan menjalani dalam kehidupannya. Meskipun itu membuat ia nanti menjadi tak tahan dengan pilihannya.

Yang menjadi penyebab sehingga manusia tak tahan dengan kebebasannya adalah terletak pada keotentikannya. Agar ia harus hidup bebas, maka ia harus menghapus apa yang mengaturnya atau apa yang diandaikan. Kalau ia ingin hidup bebas dari dosa, maka ia harus menghapus Tuhan. Tuhan mungkin bisa dihapus, tapi bagaimanakah dengan kehidupan sehari-harinya. Tetap ia harus memilih dan menjalani demi mempertahankan hidupnya.

Kehidupan yang otentik jangankan dipertanyakan, justru itu sudah tenggelam di dasar dunia. Semua terkesan jadi biasa, ia sebagai pejabat tetap melakukan korupsi, meski ia sudah bersumpah. Kehidupan berumah tangga menjadi berantakan, meski mereka sudah bersumpah. Orang-orang tetap melakukan tindakan amoral, meski ia sudah tahu ada norma dan hukum.

Meskipun ada konsekuensi yang harus ia tanggung di depan. Seperti, dosa, hukuman, dan sanksi sosial, itu tidak akan cukup untuk menekan kebebasannya sebagai manusia. Ini terlihat sebagai seorang yang eksistensialis, karena ia bebas melakukannya dan siap menanggung risiko. Tapi itu bukan eksistensialis, itu adalah kemunafikan.

Jika ia memilih menjadi seorang yang religius, maka sikap dan perbuatannya harus mendukungnya sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan. Jika ia seorang pejabat, maka ia harus bekerja sesuai standar yang ditetapkan. Jika ia seorang suami atau istri, maka ia harus mempertahankan rumah tangganya. Serta contoh-contoh lainya yang bisa kita bayangkan.

Ketika manusia itu sudah memilih maka ia harus bersikap otentik sesuai dengan apa yang dipilihnya. Bukan memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri, sikap seperti itu adalah sikap munafik. Namun, semua itu adalah hal yang biasa. Tuhan akan mengampuninya, meski ia terus berbuat dosa. Hukum bisa diatur suka-suka, supaya korupsi terus berjalan. Bisa menikah lagi atau mencari pasangan lain, meskipun sudah berjanji sehidup semati selamanya.

Sikap munafik atau sikap pura-pura adalah sikap yang bertentangan dengan sikap eksistensialis. Karena sikap eksistensialis, adalah sikap untuk terus menjadi diri sendiri dengan sikap yang otentik. Jika ia tidak ingin di awasi Tuhan dan berbuat dosa, maka ia harus meninggalkan agama. Jika ia ingin hidup dengan wanita atau pria idaman lain, maka ia jangan berkomitmen untuk menikah. Dan jika ia ingin korupsi uang negara, maka ia harus berhenti menjadi pejabat.

Kita perlu untuk menanamkan sikap yang otentik pada diri kita. Ini berlaku untuk semua kalangan, dari anak-anak hingga orang dewasa. Dari kehidupan rumah tangga, sosial, budaya dan kehidupan bangsa dan bernegara. Meskipun kita berontak pada nilai-nilai itu, kita sudah siap menerima segala konsekuensinya. Kita mungkin bisa bebas berontak terhadap pilihan itu, namun pilihan lain sedang menanti kita di depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline