Ketika seseorang mengatakan bahwa, kebahagiaan itu sederhana, namun pada saat yang sama, di sisi lain ia sudah lebih dahulu membayangkan, bahwa ada kebahagiaan yang lebih daripada sederhana. Artinya, tanpa sadar ia menekan hasratnya dan mungkin melupakannya.
Kita seharusnya terima pada kepercayaan atau kesepakatan saat ini, bahwa sesuatu yang disebut bahagia adalah mempunyai kekayaan, pangkat, jabatan, dan materi.
Kita harus melihat, apakah kebahagiaan saya memang menginginkan kesederhanaan, atau saya menginginkan kesederhanaan karena tak mampu mengumpulkan kekayaan, materi, atau meraih pangkat, serta jabatan.
Di zaman yang serba susah ini, semua orang mencoba memanipulasi keadaan mereka. Pada tingkat pemerintahan mereka berusaha meyakinkan masyarakat, agar tak terjadi aksi protes dari rakyat yang berlebihan. Agar supaya masyarakat tetap fokus pada kebahagiaan mereka. Padahal permasalahan begitu pelik, dari masalah ekonomi sampai korupsi.
Orang-orang kaya mengampanyekan hidup sederhana. Dari menyederhanakan makanan mereka, pakaian, dan kendaraan yang mereka gunakan sehari-hari. Entah motif seperti apa yang berada di balik semuanya itu.
Apakah mereka ingin menyampaikan kepada masyarakat yang miskin, bahwa hidup bergelimpangan harta tak menjamin kebahagiaan. Atau hanya sebagai gaya hidup saja, supaya mereka terlihat sederhana namun harta mereka tak habis tujuh turunan.
Pada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan atau kelas menengah. Mempunyai alasan juga, bagaimana cara menyikapi hidup yang mereka lalui. Bagaimana mengubah keadaan atau menerima keadaan itu sendiri.
Mereka yang mencoba mengubah keadaan mengorbankan segala apa pun yang mereka punyai. Pergi pagi dan pulang pagi lagi, dan waktu bersama keluarga menjadi terbatas. Meminjam modal di Bank dan Koperasi-koperasi, meski ia tahu itu sangat berisiko. Atau usaha-usaha lainya yang justru membuat mereka semakin jauh dari kebahagiaan.
Dan kalau diberi pertanyaan "untuk apa mereka melakukan semuanya itu?" jawabannya pun beragam. Pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan refleksi. Yang harus kita renungkan sejenak di tengah zaman yang tak terkendali ini.
Lalu pertanyaannya, jika semua usaha yang kita lakukan adalah tak dapat menjamin kebahagiaan di kemudian hari. Untuk apa kita masih melakukan semuanya itu. Apakah mengejar materi, jabatan, atau pangkat, hanya sebatas sensasi semata. Agar kita tenggelam dan semakin larut dalam dunia, sehingga melupakan kemanusiaan kita dan terdistorsi semata hanya sebatas materi, jabatan, dan pangkat.
Hasrat dan sensasi terus menerus mendorong manusia untuk melakukan lebih, dan lebih lagi. Meski ia sudah tahu segala konsekuensinya jika terus-menerus melayani hasrat. Namun kepercayaan dunia saat ini pada materi, pangkat, dan jabatan atau prestasi mungkin. Menjadi satu-kesatuan dalam roh dunia, seperti yang dikatakan Hegel. Adalah tolak ukur dan pusat segala kehidupan. Dan suatu hal yang wajar dilakukan oleh manusia dunia hari ini.