Musyawarah dan mufakat merupakan bagian penting dalam jalannya demokrasi di Indonesia. Dari tingkat pusat sampai daerah dan semua lapisan masyarakat, melakukan musyawarah sebagai solusi atas perencanaan dan permasalahan di setiap lingkungan mereka. Bagaimanakah musyawarah di era sekarang ini, yang menuntut sesuatu harus ekstra cepat.
Musyawarah yang seharusnya menjadi solusi masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik, malah kadang menimbulkan masalah baru, dalam satu sisi. DPR misalnya, yang seharusnya sebagai representasi dari negara Indonesia yang berdemokrasi, malah mendegradasi nilai luhur dari musyawarah itu sendiri. Seharusnya bermusyawarah dengan perang secara intelektual, bukan membawa perasaan. Yang istilahnya dalam idiom sekarang adalah, baperan.
Pada suatu waktu, saya berkesempatan mengikuti musyawarah tingkat desa, di aula kantor desa Aimere Timur, Kab. Ngada, prov NTT. Bertajuk PRA Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Aimere Timur(PRAMUSRAMBENGDES), 26 Oktober 2023. Sesuai dengan tajuk di atas, maka masyarakat Aimere Timur diajak memberikan usul dan saran untuk pembangunan desanya.
Pada kesempatan itu, masyarakat dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama membahas tentang, Lansia, Difabel, KDRT, dan ODGJ. Kelompok kedua membahas tentang, pembangunan fisik seperti rabat, selokan, dll. Kelompok ketiga membahas tentang, pertanian dan peternakan. Kelompok keempat tentang, pendidikan dan kesehatan, namun kelompok ini khusus para guru dan bidan.
Kemudian keempat kelompok tadi diberi waktu untuk berdiskusi dengan tema yang sudah diberikan. Setelah beberapa waktu kemudian, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi mereka. Lalu kelompok lain memberikan tanggapan atau tambahan terhadap usulan yang disampaikan. Tampak masyarakat memulai musyawarah itu dengan kebingungan dan beberapa yang lain hanya diam saja.
Penulis melihat ini sudah bergeser dari makna musyawarah itu sendiri. Berbeda dengan kelompok keempat tadi. Mereka membahas tema itu sesuai dengan minat dan bidang mereka masing-masing. Sehingga semua partisipan dalam kelompok tersebut tampak aktif. Berbeda dengan ketiga kelompok lainya, dibentuk hanya mengikuti arahan pendamping desa. Tanpa disuruh memilih tema yang sesuai dengan minat setiap masyarakat.
Ada salah satu tokoh masyarakat yang sangat kompeten dalam bidang budaya dan seni, namun ia ditempatkan di kelompok ketiga. Ia bertanya pada pendamping desa mengenai pembahasan budaya dan kesenian. Namun jawabannya tidak sesuai dengan keinginan tokoh masyarakat tadi. Itu tampak terlihat dari wajahnya yang kebingungan.
Namun meskipun begitu musyawarah berjalan dengan baik dan lancar. Hampir tidak ada yang melibatkan perasaan atau emosional. Semua usul dan saran ditampung oleh pendamping desa, dan pendamping desa membimbing musyawarah dengan teratur sampai selesai. Meskipun berjalan lancar dan baik, tapi masyarakat seperti dipaksa untuk berbicara yang bukan bidangnya.
Atau mungkin hal yang sudah ia konsepkan dari rumah, namun ia berbeda kelompok. Padahal tidak menutup kemungkinan ia mempunyai usulan yang bagus dan layak dipertimbangkan. Yang artinya ia hanya diam dan membisu sepanjang jalanya musyawarah.
Dalam era yang cepat ini, mungkin sisi kemanusiaan tidak lagi dipertimbangkan lagi. Kita harus dipaksa untuk bisa dan memahami segala sesuatu. Meskipun itu bukan merupakan bidang dan minat kita. Padahal masyarakat datang dari banyak latar belakang. Musyawarah hanya sebagai sarana saja dan bersifat formalitas. Jika itu sesuai dengan nilai-nilai musyawarah. Ya, itulah musyawarah.