Malam ini sebuah warung makan saya mengobrol dengan ainul. Seperti layaknya obrolan kami yang lain, isinya tentu tak jelas. Namun nggak ada angin nggak ada ujan tau tau ada sedikit celetukan bermanfaat dari ainul. Wiihh. Dia membahas tentang pendidik bahasa arab. Mempertanyakan kenapa mahasiswa pendidikan bahasa arab banyak yang banting stir. Tidak fokus pada bidang keilmuannya yang sekarang. Begitu katanya.
Fenomena dari sepenggal kalimat tersebut memang benar terjadi. Dan itu sangat terasa di sekitar kami(mahasiswa pendidikan bahasa arab). Sepertinya, semangat sebagai mahasiswa pba yang pernah di camkan saat masa orientasi dulu pba sedikit demi sedikit telah memudar.
Berdasarkan pengamatan saya ada setidaknya 2 alasan kenapa mereka sudah malas dengan pba pba an lagi. Yang pertama, rasa tidakmampu yang membuatnya beralih ke hal yang lain. Yang kedua, minat dan bakat yang tidak sesuai.
Perlu kiranya difahami, bahwasannya seorang santri pba(pendidikan bahasa arab) memiliki hak dan tanggung jawab apabila telah menamatkan studinya si s1. Yang pertama berhak menerima gelar dan ijasah lulusan bahasa arab. Yang kedua harus bertanggung jawab akan kepantasan diri dalam mengemban gelar yang telah diberikan kepada dirinya.
Hal ini dikarenakan gelar yang akan diembannya bukan hanya untuk dirinya sendiri. Namun nantinya gelar itu juga menjadi sebuah pertimbangan sosial di masyarakat. Yang bisa memberi manfaat terhadap pemilik gelar.
Saya beri contoh Seorang sarjana kedokteran akan diakui masyarakat sebagai dokter kemudian ditanya tentang apa yang berhubungan dengan profesinya. Seorang Sarjana PAI akan lebih besar kemungkinannya disuruh memimpin tahlil dari pada jurusan yang lain. Hal yang sama yang terjadi pada mereka juga akan terjadi kepada para lulusan pendidikan bahasa arab. Yang pasti ada manfaat manakala gelar lulusan bahasa arab disematkan pada dirinya.
Yang menjadi masalah ialah apabila seseorang tidak bisa bertanggung jawab pada gelar yang diberikan kepadanya. Secara tidak sengaja si dia sudah membuat sebuah kebohongan terselubung di masyarakat. Kebohongan yang sungguh keji.
Loh iya kan? Bukankah suatu kebohongan jika seorang diam saja Ketika masyarakat memberi anggapan dia bisa ini, dia bisa itu. Padahal anggapan itu tidak sama dengan kenyataan yang ada. Terlebih lagi jika dia sok merasa pantas untuk mendapatkan manfaat akan gelar yang tidak mencerminkan dirinya. Lenda lende. Ngaku jos. Kampret nggak?
Hal uang memalukkan ini jika terbuka kebenarannya bisa menjadikan senjata makan tuan. Nama buruk akan bersandar pada pribadi yang bersangkutan. Dan bukan cuma dia, pemilik gelar secara global dan lembaga yang mengelarinyapun akan mendapat nama yang sama buruknya. Kata masyarakat kok iso(bisa) orang kayak gini di kasih gelar?nggak kompeten!!.
Bukan hanya itu, jika kemudian kampret ini memberanikan diri memasuki profesi keguruan bahasa arab maka akan terjadilah sebuah kedholiman yang besar. Lah kok tidak? Di saat murid mengadukan nasibnya menyelakan waktu yang dia punya untuk hadir dikelas, guru tersebut malah tidak bisa memberikan apa pun pada diri murid tersebut. Bagaimna bisa memberi jika tidak memiliki. Al faqid la yu'ti.
Jika kita melihat dengan teori pendidikan satu lubang ini bisa menjadikan rusaknya hal-hal yang lain juga. Karena pada prinsipnya, pendidikan itu sistem yang memerlukan suatu tahapan. Terlebih lagi guru di dalam pendidikan merupakan faktor terpenting didalam kelas. Jika guru tidak memberi pengajaran yang maksimal Sistem akan kacau. karena salah satu tahapan tidak mendapat porsi kualitas yang semestinya. Begitu sederhananya.