Lihat ke Halaman Asli

Kisah Kasih Bersama JNE

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saat itu, telah menjelang lebaran. Iklan-iklan sirup telah berkeliaran, ucapan selamat Idul Fitri pun ramai bertebaran. Sudah sangat bisa ditebak jika di moment-moment seperti ini, arus transportasi dan logistik sedang ramai tak terkira. Harga tiket bis sudah berlipat ganda, manusia di stasiun kereta api pun seperti semut saja.

Yah, moment Idul Fitri memang saat yang sangat tepat untuk mempererat hubungan dengan sanak famili, kolega hingga calon keluarga. Tak terkecuali pejuang dari barisan patah hati seperti saya. Walaupun, bisnis sukses masih sekedar impian, saya tidak mau ketinggalan menghangatkan hubungan dengan keluarga dari sang pujaan, (sebut saja Kuncung).

"Segalanya butuh pengorbanan!!!", itulah motto saya selama ini. Tekad saya pun telah bulat! Uang hidup saya satu bulan ini harus saya korbankan demi beli segala macam barang yang disukai keluarga si Kuncung. Lalu, saya pun mencari dompet. Setelah beberapa jam mencari, saya baru ingat kalau saya tak pernah punya dompet.

Singkat kata, saya bergegas ke toko busana muslim terkenal di kota saya. Si Kuncung sering datang ke sana. Tapi hanya mencari inspirasi katanya. Ya maklumlah sama-sama anak kost seperti saya.

Masa-masa memilih baju pun juga merupakan pengorbanan. Agar ukurannya pas, saya bilang ke SPG "Mbak saya mau belikan baju untuk teman saya. Ukurannya sama kaya mbak. Ini coba saya paskan ke mbak ya?" *sambil nahan malu*.

Saya pun berhasil membeli banyak hadiah di toko itu. Baju untuk ibunya, adik-adiknya dan dirinya. Tak ketinggalan, aksesoris, jilbab, juga Al-Quran dan buku-buku keagamaan salah satunya "La Tahzan (bahasa arab dari 'jangan takut') for jomblo". Hadiah-hadiah pun dikemas dengan sangat indah. Selesai dikemas, saya jadi bingung, "Ini hadiah lebaran atau seserahan mantenan?".

Pokoknya ukurannya besar dan muahal. Karena sudah sangat indah dan muahal, ditambah lagi arus logistik yang lagi ramai-ramainya, saya pun gak mau main-main untuk memilih jasa ekspedisi. "Udahlah pakai JNE aja, yang udah jelas kualitasnya dan gak pernah ngecewain bertahun-tahun selama jadi konsumennya", begitu batin saya.

Karena ini mau saya jadikan kejutan, saya tidak nanya alamat Si Kuncung ke dirinya. Saya bisik-bisik nanya ke adiknya. Diberitahulah oleh adiknya, "gang ******, jl. ***** RT *** RW **, kelurahan *******, kecamatan *******, kabupaten *******, Jawa Tengah, Indonesia, Planet Bumi, Galaxi Bima Sakti". Baiklah, lengkap sekali!

Saya pun mengirimkan paket sangat berharga ini via JNE sesuai alamat (tanpa "Planet Bumi, Galaxi Bima Sakti" tentunya) dan atas nama Sri Mulyati. Saya mengirim paket pada hari jumat sore. Artinya besok hari libur. Belum lagi sudah sangat mendekati Idul Fitri. Saya sangat maklum jika makan waktu lebih lama dari biasanya.

Tiga hari berselang. Setiap hari saya nanya ke adiknya apakah sudah sampai atau belum. Jawabannya selalu belum. Saya konfirmasi, "Nama Ibumu betulan Sri Mulyati kan?". Eh ternyata bukan! Saya memang gak pernah nanya nama ibunya siapa. Hanya dulu ingat sekilas ketika si Kuncung menyebutkan nama ibunya. Nama depannya Sri, nama belakangnya "Ti.. Ti siapa gitu". Tapi berhubung saya mahasiswa fakultas ekonomika, nama yang terus ada di benak saya adalah Sri Mulyani. Sang menteri keuangan yang saat itu sedang heboh. Sehingga nama penerima paket yang saya tuliskan pun adalah Sri Mulyati. Aduh bagaimana ini? Tapi saya coba tenang, "ah paling gaada yang namanya Sri Mulyati di gang itu".
Tapi!! Betapa kagetnya saya ketika ternyata di gangnya ada yang namanya Sri Mulyati!!! Aduh harus bagaimana ini. Saya uring-uringan, panik. Bayangan pengorbanan yang bagi saya telah sangat banyak demi menghadirkan paket muahal itu menggelayut di pikiran saya. Uang hidup saya selama satu bulan, rayuan ke SPG toko, perjalanan dari toko ke JNE yang superrepot dan pengorbanan lainnya seperti memenuhi langit di atas saya. Intinya, paket ini begitu berharga untuk tak sampai begitu saja. Terpaksa saya minta ke adiknya untuk bilang ke ibunya kalau ada temannya mau mengirim paket untuknya tapi salah tulis nama dan tanya ke ibu Sri Mulyati terima paket yang isinya barang muahal tidak. Apa boleh buat. Niat hati mau kasih kejutan eh malah ketahuan satu kampung. Ternyata setelah ditanya, jawabannya belum juga. Saya pasrah. Sebenarnya JNE punya fitur tracking yang sangat bagus. Mudahnya, biasanya dengan url http://www.jne.co.id/index.php?mib=tracking.detail&awb=NO_RESI_ANDA, "NO_RESI_ANDA" diganti dengan nomor resi kita. Tapi, ya nasib. Karena saya ceroboh, resi pengiriman entah ke mana. Nomor resinya mana ingat sayaaaaa!

Dua hari berselang. Uring-uringan saya belum kunjung pudar. Yah, tawakkal sajalah. Mumpung bulan Ramadhan, saya juga tidak mau ketinggalan pahala berlipat membaca Quran. Selepas shalat zuhur, saya duduk di pojokan membaca Quran sambil berdoa penuh harap agar kiriman saya sampai tujuan :(
Allah memang tak pernah menyia-nyiakan doa hambanya yang lemah.
"Paketnya sudah sampai. Bajunya bagus", sms adik si Kuncung. Gyaaaa alhamdulillah. Sungguh JNE hebat sekali. Walaupun salah tulis nama dan arus transportasi logistik sangat ramai, kiriman itu masih bisa sampai. Bahkan keindahan paket saya pun tak ternodai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline