Lihat ke Halaman Asli

Bau Tanah Basah, Night Ride & Ngarsopuro

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Air hujan yang membasahi tanah kering selalu meninggalkan bau tanah yang khas. Bau yang selalu memberikan sensasi. Kekuatan bau tanah basah itu bisa menciptakan sebuah ritual suci, memejamkan mata, kedua tangan menengadah, kepala mendongkak ke atas dan menghirup dalam-dalam bau tanah itu.

Malam ini, bau tanah itu kembali muncul. Sudah berhari-hari tanah mengering, meninggalkan debu beterbangan. Guyuran hujan yang hanya sesaat membuat tanah kembali basah, kembali bergairah. Tak ada debu, tak ada pilu. Yang ada adalah tanah basah dan bau khasnya.

Kekuatan bau tanah itu benar-benar membawaku pada sebuah sensasi dan gairah malam yang tak terkira. Ada semangat yang meledak-ledak. Ada keinginan yang meluap-luap. Keinginan yang tertahan sekian lama akhirnya tumpah malam ini. Keinginan itu keinginan bersepeda di malam hari atau orang menyebutnya night ride (NR). Ditemani bau khas tanah basah aku mulai mengayuh sepeda.

Aspal jalanan malam ini menghitam. Air sisa hujan beberapa jam yang lalu masih menempel. Ada genangan di sana sini ketika pedal mulai dikayuh, saat roda mulai berputar. Tanpa spakbor, cipratan air menempel di punggung, di kaki, mengotori pakaian, kaus kaki dan betis yang dibiarkan terbuka.

Ngarsopuro. Ruang publik yang ada di pusat Kota Solo menjadi tujuan NR pertamaku. Bersama seorang kawan satu perusahaan, kami menuju ruang publik yang mirip dengan “nol kilometer” Jogja.

Lampu sepeda yang aku beli siang tadi menjadi penuntutku menembus jalan kota yang masih dijejali kendaraan (tentu dengan asap knalpotnya). Melewati jalan kota di malam hari dengan sepeda memberikan kesan tersendiri. Meski setiap hari melalui jalan-jalan itu, entah siang ataupun malam, namun ada kesan yang berbeda ketika melalui jalan-jalan itu dengan sepeda.

Ada denyut malam yang selama ini terlupa dan teracuhkan. Warung hik yang dipenuhi pembeli, nyala lampu dari toko-toko yang segera tutup, sepasang muda-mudi yang berboncengan dengan mesra, becak yang berjalan pelan, kemacetan depan mal yang memuakkan, tukang parkir yang terkantuk-kantuk hingga para buruh yang mengayuh sepeda jengki kencang-kencang seakan ingin segera melepas rindu dengan keluarga (merekalah para bike to work sejati).

Malam ini, Ngarsopuro tidak bebas dari kendaraan bermotor. Hanya pada malam Minggu saja, kendaraan bermotor haram hukumnya melintas di jalan yang sering dijadikan pusat kegiatan seni budaya di Kota Bengawan ini. Namun, sudut-sudut Ngarsopuro tetap dipenuhi manusia kota yang haus akan hiburan sederhana, nongkrong dan ngobrol. Ada segerombolan anak muda yang tertawa lepas, ada orang lanjut usia berdiam diri merenung, ada dua tangan yang saling bergandengan dengan sejuta kata-kata asmara.

Ruang publik terbuka seperti Ngarsopuro selalu memberikan kesempatan kepada manusia kota untuk berinteraksi. Entah berinteraksi dengan sahabat, pacar, Tuhan atau berinteraksi dengan diri sendiri. Bagiku, malam ini, Ngarsopuro telah memberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan sepeda.

Tak sekadar mengayuh pedal, perjalanan bersepeda bagiku selalu memberikan kesan dan makna yang mendalam, termasuk pula NR di Ngarsopuro. Apalagi malam ini adalah pengalaman pertamaku NR, ada sensasi yang sangat kuat terekam dalam pikiran. Sambil menikmati nasi gudeg ceker, aku masih merasakan sensasi bersepeda malam ini. Aku juga masih bisa membaui bau tanah basah yang mulai pudar ditelan sepinya malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline