Lihat ke Halaman Asli

Ada Sunrise di Bandara

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Musim kemarau sepertinya sudah benar-benar tiba. Hawa dingin khas musim kering di pagi hari menyelimuti sudut Kota Solo.

Belum ada jam 6 pagi ketika pantatku sudah berada di sadel, kakiku kokoh menginjak pedal dan tanganku memegang kuat-kuat stang. Kabut tipis yang seakan menari-nari di atas persawahan tinggal menunggu waktu disapu datangnya sang mentari.

[caption id="attachment_221167" align="aligncenter" width="300" caption="sunrise @Bandara Adisoemarmo"][/caption]

Selalu ada keajaiban alam saat bersepeda di pagi hari. Kicau burung riuh rendah menyambut pagi, hamparan persawahan, udara yang sejuk jauh dari bau asap knalpot kendaraan dan alunan kehidupan yang berjalan slow. Namun, yang kutunggu pagi ini adalah semburat cahaya kuning kemerah-merahan dari ufuk timur.

Langit yang berpendar dengan kombinasi warna biru, awan putih tipis serta dominasi bulatan utuh cahaya berwarna kuning kemerah-merahan. Merah yang tidak terlalu membara, kuning yang tidak begitu pilu. Cahaya bulat itu ada di bandara.

Bagi para pesepeda di kawasan Solo dan sekitarnya, kawasan Bandara Adisoemarmo dan Waduk Cengklik adalah surga. Bandara dan Waduk Cengklik yang jaraknya berdekatan, sering menjadi tujuan bagi para pesepeda untuk nggowes. Di waduk, selain disuguhi pemandangan pagi, pesepeda juga bakal dijamu dengan teh hangat gula batu, pisang godhok, aneka gorengan dari warung-warung yang selalu dipenuhi pesepeda.

Sedangkan di bandara, meski warungnya tidak terlalu banyak, tapi daerah ini bisa menjadi tempat untuk rehat, mengatur nafas dan melihat semburat cahaya bulat itu. Kala pagi, saat burung-burung berlari di landasan pacu dan kabut tipis mengambang menyelimuti bandara dari ujung timur langit cahaya kuning kemerah-merahan memberi tanda aktivitas pagi segera dimulai.

[caption id="attachment_221169" align="aligncenter" width="300" caption="menyambut pagi"][/caption]

Petani di sekitar bandara memanggul cangkul menuju sawah, ibu-ibu mengayuh sepeda dengan beronjong mengadu nasib di pasar, buruh pabrik diantar suami dengan sepeda motor, senyum-senyum indah anak-anak SD berlarian menuju sekolah dan bandara telah bersiap dengan penerbangan pertama hari ini.

Nuansa kehidupan pagi itu terekam dengan mudahnya ketika aku bersepeda. Mungkin karena setiap perjalanan dilakukan dengan pelan, tidak terlalu kencang sehingga detail-detail kehidupan pagi itu tidak hanya terekam lewat mata, tapi juga memberikan makna di hati. Bagiku bersepeda bukan sekadar olahraga atau suka-suka, tapi bersepeda juga menawarkan makna perjalanan kehidupan.

Namun, sensasi pagi itu hanya berlangsung beberapa menit saja. Yang ada setelah itu semua adalah rutinitas dan nafsu dunia. Mobil-mobil melaju kencang, penumpangnya takut terlambat terbang, petani sibuk dengan lahan sekotak yang disewanya, ibu-ibu menawarkan dagangannya di pasar, buruh pabrik terkungkung dalam sebuah labirin kapitalisme dan anak SD duduk di bangku mendengarkan guru. Waktu terus berjalan, aku masih duduk di sadel dan terus mengayuh sepeda yang juga akan mengantarkanku pada rutinitas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline