Lihat ke Halaman Asli

Einstein, Sepeda & Kehidupan

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hidup itu laksana naik sepeda.

Untuk mempertahankan keseimbangan,

kamu harus tetap bergerak (Albert Einstein).

Aku tak tahu bagaimana seorang Albert Einstein bisa menemukan Teori Relativitas yang kemudian muncul dalam simbol E=MC2. Sebuah teori yang dulu ku jumpai zaman sekolah, tapi penjelasan dari guru dengan mulut berbusa-busa sudah terlupa.

Ketika benda dan energi berada dalam arti yang berimbangan dan hubungan antara keduanya dirumuskan sebagai E=MC2, mungkin sebenarnya Einstein tidak hanya bercerita tentang sebuah relativiti, namun juga berkisah tentang kehidupan manusia. Dan ketika Einstein berbicara tentang kehidupan, dia mengibaratkan hidup seperti naik sepeda.

Saat masih kecil dulu, aku belajar bersepeda dengan menggunakan sepeda berukuran kecil. Dengan dua roda kecil pembantu di sisi kanan-kiri roda belakang. Dua roda kecil itu sebagai penopang agar aku tidak jatuh. Pedal sepeda sering ku kayuh pelan-pelan. Belum ada optimisme. Belum ada keyakinan. Selain dua roda penopang itu, ibuku yang sering melihat aku belajar bersepeda memberikan semangat, mengobarkan optimisme.

Kala sepeda sudah menjadi bagian kehidupan masa kecil, maka dua roda penopang itu sudah hilang. Ibuku juga tidak lagi risau saat aku duduk di sadel sepeda. Bahkan, ketika menginjak SD, ukuran sepedaku juga berganti. Orang-orang menyebutnya dengan sepeda ukuran ban 16. Tak hanya halaman depan rumah, tapi sepeda juga telah membawaku keliling kampung, berangkat sekolah, bermain di sawah, menuju lapangan sepak bola di belakang balaidesa atau les pelajaran.

Ketika SMP hingga dewasa, sepeda telah membawaku dalam perjalanan di kota kecilku hingga mengantarkanku dalam sebuah petualangan menuju pantai yang jaraknya lebih dari 50 km dari rumah.

Aku yang sama sekali buta dengan Teori Relativitas, mengartikan rumus E=MC2 ciptaan Einstein itu layaknya perjalanan kehidupan manusia. Ketika benda=sepeda dan energi=kayuhan manusia, maka hidup itu selayaknya bersepeda, selayaknya manusia yang terus bergerak menjalani kehidupan.

Saat masih kecil, bersepeda masih harus ditopang alat bantu dan aku menjalani kehidupan masa kecil dengan menopangkan arah dan alurnya pada orangtuaku. Belajar jatuh dari sepeda, belajar menghadapi kehidupan.

Masa remaja tiba, orangtua mulai memberikan kebebasan kepada kakiku untuk mengayuh pedal lebih jauh. Kadang mengingatkan dan ada kalanya pula marah jika roda-roda diputar terlalu cepat, dikayuh terlalu sering atau terlalu jauh menuju suatu tempat yang belum waktunya.

Waktu orangtuaku menganggapku sudah dewasa, maka dia hanya menyarankan, menasihati ke mana sepedaku ini aku kayuh. Saat arahnya melenceng, ibuku mengingatkan. Orangtuaku membebaskanku, ke mana saja sepeda itu ku kayuh. Memberikan kesempatan untuk memutar roda seperti keinginan dan mimpiku.

Seiring berjalannya waktu, perjalanan bersepeda juga semakin banyak tantangannya. Ada kalanya menanjak yang kadang tak pernah diketahui kapan tanjakan itu berakhir meski kaki sudah kelu mengayuh, jantung berdegup kencang kelelahan dan tangan gemetaran. Namun, ada kalanya juga perjalanan menemui turunan curam hingga kecepatan sepeda sangat kencang, pedal tak perlu dikayuh dan senyum ringan tersungging dari sudut bibir menikmati perjalanan.

Mungkin ini adalah tafsir sesat atas Teori Relativitas, namun bagiku rumus E=MC2, tidak hanya berlaku dalam pelajaran fisika. Selama perjalanan kehidupan masih berjalan maka E=MC2 masih berlaku dan itu artinya pedal masih harus terus dikayuh agar roda terus berputar, entah di depan ada tanjakan atau turunan, roda-roda itu harus terus menggelinding.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline