Lihat ke Halaman Asli

Jalur Pemetik Teh

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aku bukan penggila sepeda, tapi aku percaya bersepeda bikin sehat dan bahagia.

[caption id="attachment_200696" align="alignleft" width="199" caption="KEBUN TEH-Bersepeda di kebun teh kemuning, Karanganyar"][/caption] Satu persatu sepeda kayuh telah memenuhi bak belakang mobil pikap keluaran tahun 1982 itu. Hampir tak ada tempat tersisa di bak belakang mobil itu, roda, pedal, sadel saling beradu, diikat kuat.

Pagi ini, petualangan bersepeda akan dimulai. Sudah tidak terlalu pagi karena jarum jam sudah menunjukkan angka 06.30 WIB saat mobil mulai menyusuri jalanan Solo yang ramai. Mobil putih pikap yang mengangkut sepeda beriringan dengan mobil yang mengangkut pesepeda menuju sebuah desa di ujung Kabupaten Karanganyar.

Desa Kemuning namanya. Sebua desa yang terkenal dengan kebun tehnya. Desa yang menawarkan hamparan kebun teh yang asri dengan lanscape berbukit-bukit, dengan latar belakang pegunungan dan tentunya dengan hawa sejuk khas pegunungan.

Ini adalah pengalaman keduaku bersepeda di Kemuning. Beberapa bulan yang lalu, dengan personel yang lebih sedikit, saya dan beberapa jurnalis pecinta sepeda telah menjajal trek di tengah kebun teh. Dan kali ini, ada antusiasme yang lebih sehingga personel yang dibawa pun bertambah.

Jalan berkelok-kelok, naik turun dengan pemandangan alam yang indah disuguhkan mulai dari Karangnyar hingga Kemuning. Paling tidak butuh waktu 1,5 jam perjalanan dari Solo sampai di titik pemberhentian, Pasar Kemuning. Mobil pikap yang kami sewa bakal menunggu kami di pasar itu, sementara kami akan memulai petualangan bersepeda.

Roda-roda mulai bergerak pelan. Pedal dikayuh dengan perlahan. Masing-masing dari kami mulai menyiapkan setelan gear yang pas karena jalanan mulai naik turun. Dari gear kecil ke gear paling besar karena jalanan menurun curam dan langsung disambut dengan tanjakan tajam. Hanya sekitar ½ km jalanan beraspal kami lalui, setelah itu jalan tanah dan batu yang membelah kebun-kebun teh itu kami tebas.

Jalan tanah berbatu itu pun hanya sebentar kami lalui karena jalur sesungguhnya sudah menanti, jalur pemetik teh. Jalur yang biasa digunakan para pemetik teh itulah pertualangan sesungguhnya. Jalur yang lebar tidak menentu, kadang seukuran stang sepeda, kadang lapang, kadang stang sepeda harus beradu dengan ranting-ranting pohon teh.

Sepeda-sepeda kami berjalan beiringan di antara lebatnya pohon teh yang tingginya antara ¾-1 meter. Hanya tubuh dan kepala yang menyembul di antara kebuh teh. Sepeda kami seakan tertelan rungkut-nya kebun teh. Tanah licin sisa hujan semalam menjadikan pejalanan semakin berat. Pedal dikayuh sekuat-kuatnya, namun roda seakan enggan untuk berputar.

[caption id="attachment_200698" align="aligncenter" width="500" caption="DOWNHILL- Sekuel pesepeda downhill di tengah kebun teh"][/caption]

Ada kalanya sepeda harus dituntun karena jalur pemetik teh terlalu sempit, ada kalanya pula sepeda melaju kencang saat jalur pemetih teh cukup lebar dan menurun tajam. Ada kalanya pula sepeda harus diangkat karena ada selokan kecil atau pipa air minum di tengah jalur.

Petulangan bersepeda di jalur pemetik teh sudah lebih dari satu jam. Saatnya mengisi amunisi untuk tubuh karena petualangan belum berakhir. Di Pasar Kemuning, perut kami dijejali dengan berbagai makanan dan sudah siap lagi untuk melanjutkan perjalanan.

Kebun karet yang berada beberapa kilometer dari Kemuning menjadi tujuan kami. Jalan menuju kebun karet beraspal mulus dan menurun. Dengan kecepatan lebih dari 80km/jam, perjalanan bersepeda menjadi mengesankan. Layaknya lomba balap sepeda yang selalu ada embel-embelnya “tour de” kami beradu sprint, adu tanjakan. Bukan untuk mendapatkan yellow jersey ataupun polkadot jersey, tapi karena kami senang melakukannya.

Di tengah kebun karet, petulangan berulang. Pohon-pohon karet menjadi saksi keliaran bersepeda. Dan setelah puas di kebun karet, maka perjalanan dilanjutkan menuju kebun karet berikutnya. Lagi-lagi adu sprint dan tanjakan.

Ketika air dibotol menipis dan jalur semakin berat dengan tantangan naik turun, seakan tenaga tak lagi bersisa. Petualangan ditutup dengan tanjakan yang bagi saya teramat sangat menanjak. Nafas hampir habis, jantung dipaksa bekerja lebih dari biasanya, kaki-kaki seakan kaku tak mampu lagi mengayuh pedal, tangan sudah gemetaran memegang stang. Aku benar-benar lelah, tapi bahagia.

[caption id="attachment_200702" align="aligncenter" width="300" caption="KEBUN KARET- Gilian kebun karet yang dilibas."][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline