Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yunus

Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Penjara Hutang Calon Penguasa Daerah

Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi langsung yang terus bergerak, mampu merubah mentalitas dan budaya masyarakat Indonesia untuk tidak bisa terlepas dari sebuah cengkaraman kehancuran bernegara. Tentang pemilihan kepala daerah dalam pemilukada 2015 ada penyakit yang membuat calon dan pasangan bupati, wakil bupati, walikota dan pasangan walikota, gubernur dan pasangannya terpenjara. Penjara itu bernama penjara hutang finansial, hutang rekomendasi, hutang kebijakan dan hutang harga diri.

Bertemu dengan salah seorang staf ahli fraksi partai politik DPRD Kab. 50 Kota, Sumatera Barat dan juga bincang dengan beberapa orang yang ingin mencalonkan diri menjadi wakil walikota, kemudian salah seorang professional marketing politik. Memberikan fakta-fakta otentik tentang bagaimana demokrasi Indonesia masih berada pada pendulum berbiaya tinggi dengan pengeluaran yang amat besar untuk menjadi penguasa mulai dari tingkat pemerintahan daerah, provinsi dan termasuk juga Negara Indonesia. Fakta-fakta antara lain:

  1. Untuk mendapatkan surat rekomendasi dari Dewan Pengurus Pusat Partai Politik, termasuk Dewan Pengurus Wilayah, Daerah mesti membayar uang mahar. Bilangannya sampai milyaran. Masing-masing partai memiliki variasi harga yang berbeda. Untuk tingkat 2 atau menjadi calon Bupati atau Walikota mesti membayar untuk orang luar kader partai sampai Rp. 2.000.000.000,- sedangkan untuk orang dalam ada diskon khusus. Setoran ini masuk sebagai pendapatan bagi DPP partai. Kemudian selanjutnya adalah setoran untuk pengurus DPW dan DPD termasuk dengan harga kursi anggota dewan. Untuk partai koalisi ditingkat daerah minimal ada 7 kursi. Bila sepasang calon Bupati dan wakil bupati harus mendapatkan 2 rekomendasi, maka ia mesti mengeluarkan dana Rp. 4.000.000.000,- termasuk dana bagi Pengurus Partai dibawahnya. Dan jumlahnya bervariasi tergantung negosiasi.
  2. Selanjutnya uang untuk Team Sukses baik sebagai professional untuk merumuskan visi & misi dan juga kampanye bagi masyarakat pemilih. Termasuk juga team sukses sekeliling yang ditunjuk oleh pasangan. Hal ini berguna untuk melakukan pekerjaan menjual calon dengan suara pemilih di bilik suara. Hal ini juga membutuhkan biaya besar. Mulai dari survey elektabilitas nama dimata masyarakat pemilih. Hitungannya sampai milyaran, tergantung ukuran profesionalitas, jumlah personel dan juga bentuk logistic yang digunakan.
  3. Biaya percetakan logistic kampaye, mulai dari baliho yang disebar diberbagai titik strategis. Poster yang disebar keberbagai tempat. Kalender yang terkadang tidak semestinya terbit. Kemudian buku tentang trak record calon dan pasangan dan juga visi misi serta program kerja yang diusung.
  4. Biaya selanjutnya adalah biaya pembelian suara masyarakat pemilih. Bila satu suara Rp. 50.000,- untuk satu suara, sedangkan pemilih berjumlah 5.000.000,- orang, maka sepasang calon bupati mesti mempersiapan dana minimal untuk 3.000.000,- orang yang berjumlah Rp. 150.000.000.000,-. Yang biasanya dikombinasikan untuk memberikan sumbangan untuk organisasi kemasyarakatan, yayasan, Lsm dan juga tokoh-tokoh masyarakat.

Kemudian dari mana sumber dana yang sebesar itu? Sebagian dari uang pribadi sang calon. Biasanya ada negosiasi kontribusi masing-masing calon dan juga pembagian pendapatan setelah terpilih. Sebagaian mesti melakukan pinjaman terhadap pemilik modal atau dana taktis. Biasanya dengan perjanjian pengembalian baik secara langsung baik terpilih maupun tidak terpilih. Bila terpilih maka ia mesti membayar dengan kompensasi lewat kebijakan keuangan daerah dengan sejumlah paket-paket program yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat pemilih. Biasanya pada program stategis yang bersifat kajian. Sedangkan yang lain berbentuk keputusan ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam berupa tambang dan sejenisnya.

Penjara ini akan membelenggu kepala daerah yang terpilih selama 5 tahun kedepan. Arah kebijakan dan program kerja pemerintahan daerah hampir menjadi bagian dari pengembalian modal yang telah dikeluarkan. Kemudian masyarakat bagaimana? Berbicara tentang perbaikan infrasturktur jalan, penambahan jalan, irigasi, pembebasan lahan untuk pendirian sekolah dan juga berbagai kebutuhan masyarakat lainnya. Maka semua itu menjadi bagian yang sedikit mendapat anggaran.

Semakin besar hutang dari penjara finansial, maka semakin sedikit program yang dapat dinikmati langsung untuk pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi masyarakat. Lebih lanjut ditelisik, bila APBD sedikit, baik Pendapatan Asli Daerah maupun Dana Alokasi Umum dan Khusus tidak besar dan banyak tersedot dalam belanja pengawai dan operasional, alokasinya sampai 60%, maka kita tidak akan melihat pergerakan pembangunan kecuali ada proyek dari Pemerintah Pusat dan Wilayah. Sedangkan untuk daerah otonomi baru yang ikut dalam deretan pemilu serentak, Bupati dan wakilnya tidak dapat berbuat banyak untuk daerah baru nantinya.

Turunan ini juga berlanjut tentang model kepemimpinan, Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Aparatur Sipil Negara yang tidak bisa ‘berdamai’ dengan Bupati dan wakilnya atau walikota, maka tersingkir dengan baik. Walau ia memiliki kemampuan hebat untuk memajukan masyarakat sesuai dengan kapasitas dan kualitas.

Apakah demokrasi langsung ini mesti ditukar? Atau system tata kelola pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia mesti revolusi secara system? Jawaban untuk menyelesaikan benang kusut ini dapat diurai dari berbagai aspek.

  1. Secara pribadi dan keluarga pemilih, maka pilihlah pasangan calon kepala daerah yang tidak memberikan uang untuk membeli suara. Sebab maka kita telah menjual diri dan keluarga untuk 5 tahun kedepan.
  2. Secara komunal, ajaklah orang lain untuk tidak menjual suara dengan harga yang teramat murah. Sebab bila menjual, maka hanya mendapatkan manis didepan dan pahit berketerusan 5 tahun kedepan.
  3. Mempersiapkan generasi depan yang imun terhadap penyakit sogok menyogok, suap menyuap. Yang akan menjadi pemimpin bangsa, dan bukan perampok Negara yang memiliki ketetapan hukum untuk merampok uang masyarakat dari pajak dan juga pinjaman hutang dari luar negri.
  4. Jadilah pengganti mereka yang saat ini yang berada dalam lingkar partai dan anggota dewan yang penuh dengan mentalitas rampok. Sebab mereka naik juga dengan melakukan sogok menyogok dan melakukan jual beli suara. Persiapkan mental, kemampuan diri berupa kapasitas intelektual dan keuangan. Dan berkomitmen untuk tidak mencontoh contoh buruk dari mereka. Dan ini tidak mesti sendiri, mesti dilakukan secara bersama-sama.

Perbaikan ini membutuhkan kerjasama dari setiap individu, tokoh intelektual berintegritas, tokoh agama yang istiqomah yang tidak mau menjual diri, masyarakat dan Negara ini dengan harga murah. Gerakan demi gerakan mesti bersinambung satu sama lain. Bagi tokoh intelektual mampu melahirkan gagasan-gagasan aplikatif memperbaiki system bernegara, bermasyarakat dan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam mencerdaskan masyarakat. Tokoh agama menjadi contoh teladan untuk membentuk akhlaq mulia bagi pemeluk agamanya. Bukan menjadi tokoh yang menjual organisasi keagamaan, jama’ah, persekutuan dengan rupiah bagi calon penguasa daerah. Bagi individu dan keluarga, mempersiapkan generasi yang tidak menjadi pembeli demokrasi, namun menjadi pelaku yang mampu melakukan perubahan ada atau tidak berada dalam system bernegara.

Pilihan untuk tidak memilih adalah pilihan yang tidak semestinya dipilih di pemili kepala daerah Desember nanti. Memilih berarti ikut bertanggungjawab untuk melakukan perbaikan dengan mengawasi dan meminta pertanggungjawaban kepada daerah. Karena setiap suara yang diberikan memiliki dampak bagi masyarakat luas untuk 5 tahun kedepan, sedangkan di akhirat mesti dipertanggungjawabkan.

Pilihlah kepala daerah yang baik, kapabel dan memiliki jejak kehidupan yang baik. Dengan mempelajari kehidupan mereka, mulai dari keluarga, pendidikan, dan jenjang karier lainnya. Bila yang rusak ada 50%, 60% dan 70%. Maka tiada pilihan lebih baik memilih yang rusak 50%. Sebab masih ada 50% yang baik untuk dikuatkan bagi perbaikan bernegara dalam masyarakat Indonesia bermartabat.

tulisan telah diterbitkan suara mahasiswa

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline