Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yunus

Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Mahasiswa Menambah Semester, Ada Apa?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sistem pendidikan semenjak bergulirnya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus tahun 1984 dan lahirnya system kredit semester yang sebelumnya menggunakan system naik tingkat. Hal ini memberikan cara pandang baru dan juga model pembelajaran yang jauh berbeda bagi tamatan SMU, SMK sederajat.

Sistem SKS memberikan kelonggaran waktu dan fleksibel waktu untuk berbagai aktivitas kegiatan mahasiswa. Satuan SKS untuk mendapatkan gelar sarjana ditempuh sebanyak 144 SKS sampa 154 SKS yang mesti diselsaikan dalam jangka waktu 4 tahun atau 8 semester. Pihak perguruan tinggi memberikan kerangka acuan bagi mahasiswa dan mengetahui bagaimana menempuh jalan biasa untuk menjadi sarjana.

Namun, apa daya terkadang jalan biasa yang ditempuh dengan mudah dengan hanya melewati dengan biasa saja terkadang mesti bersimpang entah kemana. Kemudian mesti menempuh waktu yang lebih panjang.

Adakah manfaat menambah semester dalam perkuliahan? Jawabannya ada namun tidak sebanding dengan bahaya menyelesaikan secara tepat waktu.

1.Menambah biaya hidup yang semakin meningkat. Peningkatan biaya hidup seiring dengan kenaikan inflasi. Rata-rata kenaikan biaya hidup 10% pertahun. Kebutuhan yang biasanya IDR 1.000.000 maka akan meningkat IDR 100.000,- dan juga biaya perkuliahan yang makin mahal.

2.Umur yang tidak semakin muda lagi. Bertambahnya semester menjadi umur bertambah 1 tahun. Pertambahan ini tidak memberikan manfaat sama sekali bagi mahasiswa. Ketika usia produktif semakin berkurang maka kesempatan untuk berkarir dan mandiri semakin jauh. Rata-rata usia tamatan perguruan tinggi yang ideal berkisar 22 tahun sampai 25 tahun. Jika lewat maka menguaplah kesempatan itu datang menghampiri.

3.Kesempatan dan peluang yang hilang. Ketika usia bertambah maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan juga hilang. Waktu satu tahun sangat berarti untuk memiliki pengalaman pekerjaan. Mengasah kapasitas dan kualitas diri dalam dunia realitas. Dalam jangka satu semester atau satu tahun maka terpangkas untuk melangsungkan pernikahan karena masih berstatus mahasiswa dan belum memiliki pekerjaan.

4.Kemandirian yang semakin telat. Ketika teman-teman seangkatan telah memiliki usaha yang berlajan atau pekerjaan yang telah mampu untuk bediri dikaki sendiri. Maka menambah semester satu atau dua mengakibatkan kemandirian datang terlambat. Kecuali bagi mahasiswa yang telah mandiri untuk biaya hidup dan kuliah.

5.Malu yang bertambah. Ini adalah hukuman social bagi mahasiswa bertambah semester. Bertemu dengan junior baru masuk, atau di potong oleh yunior yang wisuda tepat waktu. Dan hal ini amat menyakitkan. Aduh apa pasal, karena kesalahan kecil yang berulang maka malu adalah resiko yang mesti dihadapi.

Sebutan Mahasiswa Abadi terkadang menjadi hukuman social dan sekaligus kebanggaan. Beberapa mahasiswa mampu menyelesaikan 14 semester atau 7 tahun. Sebuah penyelesaian yang memasuki injuri time.  Terkadang wisuda dipaksa oleh system kampus dan diberikan jalan belakang, karena akan merusak criteria akreditasi kampus. Sudah rusak merusak lagi.

Pengalaman saya sewaktu kuliah julukan Mahasiswa Abadi sempat beredar untuk dua orang. Satu teman seangkatan dan satunya adalah junior. Dalam bincang-bincang ringan di sela pertemuan didapat ditelisik bahwa terjadi disorientasi dalam memahami hidup dan system kuliah.

Kok seperti itu banget? Apa tidak merasa tua di kampus? Atau memang senang menemani dosen dan menemui hampir setiap mata kuliah yang berulang? Menelisik problematika demi problematika menambah semester  dalam kehidupan mahasiswa ternyata seru dan terkadang memiliki alasan konyol yang tidak masuk akal.

Sering yang menjadi awal kehancuran adalah kegagalan pada semester awal dan kedua. Kegagalan dalam mata kuliah prasyarat membawa dampak tidak bisa mengikuti mata kuliah selanjutnya. Beberapa kampus memberikan syarat kelulusan adalah nilai D. Ketika mahasiswa mendapatkan nilai D atau C terutama tiga SKS maka otomatis akan melakukan perbaikan di semester selanjutnya atau mesti membuka semester tambahan.  Apalagi ketika mendapatkan nilai B tertawa yakni E alias gagal total disatu mata kuliah. Maka alamat tidak bisa mengambil mata kuliah ke atas dan mesti mengulang besama adik angkatan. Aduh mak kemana muka mau dibawa. Maka keluarlah alasan demi alasan dan sering yang menjadi kambing hitam adalah Dosen dan seperangkat kebijakan dosen. Penamaan yang paling indah adalah “Dosen Killer” Inilah menariknya menjadi Dosen mendapatkan oleh-olah bernama “buang sampah” kesalahan dan sumpah serapah dari mahasiswa yang gagal.

Beberapa alasan mesti batambuah (bertambah) semester yang sering beredar dan lestari.

1.Indek Prestasi Akademik yang belum sampai dan memadai untuk menjadi sarjana. Standar kelulusan dan diterima dalam persaingan dunia kerja adalah 3.00 untuk ilmu social dan 2.75 untuk eksakta, hal ini berlaku bagi lulusan Perguruan Tinggi Negeri. Sedangkan Perguruan tinggi swasata 3.20 untuk ilmu social dan 3.00 untuk eksakta. Pencapaian IPK ini sering menjadi alasan paling sering diungkapkan dan teramat klasik sebagai pembenaran.

2.Perbaikan mata kuliah gagal dan nilai-nilai yang bertaburan D dan C. Hal ini menjadi konsekwensi logis untuk mengulang dan memperbaiki nila dar C menjadi B atau A dan nilai D menjadi C semimal mungkin.

3.Aktif berorganisasi. Inilah alasan bagi beberapa aktivis kampus baik yang aktif di organisasi internal kampus mulai dari Himpunan Mahasiswa Jursan, Badan Eksekutif Fakultas, maupun Universitas dan Unit Kegiatan mahasiswa. Dan sebagian mesti menjadi pengurus persatuan jurusan, fakultas di tingkat regional maupun nasional. Sebagian terlibat aktif diorganisasi eksternal kampus, baik berbasis mahasiswa diantaranya GMNI, HMI, KAMMI, PMKRI dan lainnya yang memiliki system tersendiri yang terkadang menghanyutkan siapa yang berkecimpung tanpa perencanaan. Sebagian hanyut dalam komunitas hobi yang memiliki berbagai kegiatan yang memiliki bentrok dengan kewajiban untuk hadir di bangku kuliah.

4.Salah pergaulan dan huru hara dunia muda. Godaan ini lahir dari kehidupan kota-kota besar yang memberikan berjuta peluang dan kesempatan. Dunia gemerlap ibu kota dengan segala kesenangan saat. Terjerembab dalam dunia narkotka, pergaulan bebas, diskotek dan malah menjadi bagian dari industry seksual. Penelitian terbaru di Yogyakarta tentang seks pra nikah oleh mahasiswa memberikan fakta jelas dan akurat tentang bagaimana salah pergaulan diantara kalangan mahasiswa dan mahasiswi.

5.Berhenti studi sementara (BSS). Alasan BSS adalah alasan rasional menambah semester Sembilan dan 10. Beberapa alasan dibelakang ini ada keterbatasan biaya, sakit, atau memang ingin sejenak berhenti saja.

6.Kuliah sambil kerja dan usaha. Beberapa mahasiswa menambah semester dihadapkan terhadap benturan kerja yang tidak memberikan ruang untuk kuliah. Sistem jam kerja 8 jam sehari mengharuskan untuk tidak kuliah. Beberapa Kampus memberikan fleksibel waktu dengan membuka kelas malam untuk karyawan dan yang kerja. Sedangkan mahasiswa yang memiliki usaha diminta focus dalam mengembangkan usaha. Dan hal ini mengakibatkan ketidak maksimalan dalam mengikuti proses perkuliahan. Dan terkadang lebih memilih mengembangkan usaha sementara waktu dan meninggalkan perkuliahan.

7.Malas dan ogah kuliah. Ini adalah alasan yang sangat kebangetan dan tidak memiliki kesadaran. Memelihara malas, karena kuliah hanya pelarian dari tanggungjawab lain. Memilih kuliah berasal dari ingin kuliah semata. Melihat teman-teman kuliah dari tamatan juga ingin kuliah. Maka kuliah hanya menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Sering dalam beberapa diskusi kecil dengan mahasiswa alasan malas dan ogah untuk mengikuti kuliah mengemuka. Kamu kok ngak masuk mata kuliah itu dan dosen tersebut? Malas pak dan mereka asik bercengkrama di Kantin kampus atau taman.

Maka lebih baik memiliki perencanaan yang matang dan capaian sasaran jelas dalam perkuliahan karena menuntut ilmu di perguruan tinggi godaannya sangat dahsyat. Bagi siapa yang terayu dan termakan kenikmatan sementara maka akan menyesal dikemudian hari.

Karena waktu tidak pernah berulang dan dapat diperbaiki. Tulisan selanjutnya “Pedang bermata dua  Sistem Kredit Semester (SKS) dan “Manajemen Keuangan Pribadi untuk Mahasiswa”

Serial tulisan Trilogi sukses Mahasiswa.

Surau Intelektual UBH, Padang 9 Juli 2012 menjelang magrib datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline