Menulis merusak organ lain, Bang
Ungkapan ini muncul dari Pendidikan dan pelatihan Senang Menulis Secepatnya 6.000 kata dengan pola 10 jam di Himpunan Mahasiswa Islam Proklamator Universitas Bung Hatta tanggal 25 Desember 2011. Unkapan dari seloroh salah satu peserta yang mencoba mencari elah untuk berhenti menyelesaikan rangkaian tulisan 6.000 kata.
Pola pendekatan SMS 6.000 kata adalah melakukan ice breaking (pemecahan kebekuan) menulis. Pendekatan ini menggunakan modal pertama sebagai seorang penulis.
- Modal Mendengar. Kemampuan mendengar telah ada semenjak manusia terlahir, berkembang secara baik semenjak memasuki usia 3 tahun. Sepanjang rentang usia kehidupan telah banyak hal yang di dengar, berupa percakapan, nasehat, dialog, bunyi dan juga musik. Inilah modal pertama untuk menulis. Yakni menuliskan apa yang pernah didengar dan disimak dalam perjalanan kehidupan.
- Modal Melihat. Mencoba memotret dengan kata-kata apa yang pernah terlintas dalam lensa mata. Menceritakan apa yang terlihat oleh mata pada saat itu juga yang kemudian di tuangkan kedalam baris-baris kata.
- Modal Merasakan. Mencurahkan berbagai kecamuk rasa. Mulai dari ketakutan, kegalauan, kekhawatiran, akan berbagai hal. Dimulai dari masalah diri, lingkungan, pendidikan dan hal yang menjadikan rasa sebagai modal untuk menulis.
Kegiatan ini bagian dari proses kelahiran kedua bagi Aktivis HMI yang memiliki tujuan organisasi "TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR YANG DIRIDLOI ALLAH SWT". (pasal 5 AD HMI) lewat menuangkan ide dan gagasan yang sering meluncur dalam diskusi malam baik sesama anggota maupun dengan alumni.
[caption id="attachment_160530" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi bentuk pelatihan SMS 6.000 "][/caption] Hasil dari proses pendidikan dan pelatihan menulis SMS 6.000 kata adalah kelahiran Komunitas Cinta Menulis sebagai wadah sosial di bawah payung Bidang Kekaryaan HMI Komisariat. Jumlah peserta untuk program ini sebanyak 12 orang yang merupakan pengurus dan anggota.
Tradisi menulis dalam tubuh HMI adalah sebuah kebudayaan intelektual yang telah melahirkan beberapa tokoh intelektual, diantaranya Nurcholis Majid, Anies Bawedan, Lafran Pane, dan beberapa tokoh intelektual lainnya sepanjang tumbuh berkembangnya organisasi mahasiswa Islam berbasis mahasiswa.
Namun, dalam pergeseran waktu dan juga perubahan sejarah, satu persatu tokoh intelektual berasal dari kampus hijau hitam-begitu nama populer-dikalangan penggiat aktivis HMI menyebutkan tempat mereka beraktivitas dimulai dari tingkatan terendah Komisariat sampai Pengurus Besar di Jakarta memudar dan tidak terlihat ke permukaan.
Dari tradisi yang hilang karena terjebak dalam gelombang politik kampus dengan menjadi tokoh di kampus, perebutan kekuasaan kampus, mengikuti senior yang mendekatkan diri dari partai politik, maka perlahan namun pasti tradisi intelektual memudar. Menelisik secara organisatoris, seorang anggota HMI memiliki kewajiban untuk menulis dalam proses pendidikan yang disebut dengan Latihakan Kader dari jenjang Dasar, Intermediate dan Advance.
Kewajiban menulis dalam jenjang Intermediate atau LK II berupa makalah ilmiah yang berdasarkan atas tema kekiniaan. Setiap peserta harus memenuhi syarat untuk membuat makalah dengan ketentuan minimal 5 sampai 10 buku referensi, 5-10 halaman A4 untuk dapat di utus dari Cabang Masing-masing. Kemudian dalam jenjang lebih tinggi Advance Training syarat ini lebih berat dan tinggi. Setiap peserta membuat rumusan masalah dalam berbagai bidang sesuai dengan ketentuan panitia. Minimal referensi 15 buku dan tebal makalah diatas 15 halaman diluar cover, kata pengantar dan daftar isi termasuk daftar pustaka.
Namun sedikit yang mampu masuk pada tahap akhir sistem pendidikan anggota di HMI. Syarat utama adalah memiliki kemampuan dalam merumuskan masalah dan melahirkan solusi. Hal ini bisa di telusuri sekaligus di buka dari beberapa kebiasaan positif yang hilang dari tradisi intelektual anggota HMI, diantaranya:
- Hilangnya tradisi membaca bagi anggota HMI. Dalam beberapa pergaulan dengan beberapa anggota HMI yang masih aktiv di beberapa kampus terlihat jelas bahwa kemampuan membaca anggota HMI tidak sampai 1 buku satu minggu. Tidak terlihat lagi bagaimana anggota HMI membawa buku kemana mereka pergi, namun telah tergantikan oleh Laptop, HP model terbaru. Tiada kesalahan dalam hal ini, namun penggunaan Laptop dan HP model terbaru bukan sebagai sarana membaca di jagat informasi, namun lebih sebagai mengikuti mode dan tren yang berkembang. Berbincang dengan beberapa anggota baru yang mengikuti pelatihan tingkat dasar, dari beberapa orang yang di survey menyatakan belum menuntaskan 10 buku ketika kuliah.
- Senyapnya tradisi berdiskusi tematis intelektual bagi pengurus HMI dari tingkat komisariat hingga cabang. Kemiskinan bahan bacaan membawa penyakit selanjutnya ketidakmampuan menformulasikan ide dan gagasan cemerlang dalam diskusi dan dialog dalam berbagai forum. Diskusi dan dialog lebih banyak membicarakan perkembangan terkini hal yang di luar arena tujuan keberadaan HMI sebagai wadah pembentukan kemampuan akademik dengan tradisi keilmuan. Pembentukan kemampuan kreatifitas dalam tradisi penelitian dan juga penagabdian masyarakat sebagai bentuk tanggungjawab sebagai mahasiswa.
Bersambung bagian 2