Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yunus

Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Bening Jiwa Pak Tua Penjual Vitamin Asap

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Masih dari sebuah catatan perjalanan yang terserak, mencoba untuk mengemas kembali dalam jalinan kata. Karena ia menyapa setiap saat ketika bertemu saudara kandung lain ibu dan bapak. Keberadaannya terus menebar sesuatu yang ingin menghentak kesadaran di malam terus merapat.

Lambat laun gemulai daun tempo hari masih terus menyapa. Menyapa pengelana yang terus berlalu lalang untuk menjemput rezki yang malam ini masih bertebaran di santero Jakarta. Tiada kata malam atau siang, karena tiap malam dan siang ia terus berpacu untuk menawarkan kenikmatan demi kenikmatan terselip nyaman di ujung bibir yang masam akan nikotin dan tar.

Pagi itu, jam masih menunjukkan 04.3o WIB. Mata ini masih menerawang tentang bagaimana nanti se sampainya di Padang sana. Berkelebat berbagai kemungkinan dalam rencana. Mulai dari mempersiapkan beberapa materi untuk seminar, konsolidasi dan jadwal kunjungan silaturrahmi dengan waktu yang terbatas dan singkat. Perjalanan di akhir tahun 2011 yang telah mengurai berbagai hal tentang perjalanan tungku tigo sajarangan, membidani lahirnya satu komunitas sebagai bentuk tanggung jawab sosial dalam bidang akademik.

Namun, ada rasa rindu ingin bertemu dirimu walau hanya senyap melihat guratan di keningmu. Tulang pipimu yang melihatkan kekuatan untuk menjadi pribadi tangguh di usia yang semakin menua. Ku menjumpaimu terlelap dengan tenang dengan wajah di tekuk miring ke sebelah kiri.

Bersendal jepit, dengan celana yang telah lusuh dimakan zaman nan berusia. Tubuhmu terbungkus baju yang masih setia menemai sampai pagi subuh yang terus bergerak tiada henti. Barang daganganmu adalah perlambangan dirimu masih memiliki sikap seorang yang bertanggungjawab atas pilihan hidup atas ketepaksaan.

Aku melihatmu dengan rasa aman tiada ancaman terlelap begitu saja. Memberikan getaran akan sebuah kepasrahaan hidup penuh makna. Rasa aman yang terkadang teramat mahal bagi yang menyimpan banyak kemunafikan dan kebohongan yang tersusun rapi. Barang daganganmu terletak begitu saja. Memang harganya tidak seberapa jika dihitung secara materi uang. Namun di balik bilangan sedikit bekumpul banyak cerita yang menghantarkan kebaikan, walau hanya untuk diriku.

Bisnis asap dupa, itulah penamaan yang sering kusematkan atau vitamin asap di lain tulisan. Dirimu hanya perentara dari mata rantai bisnis yang panjang. Di setiap batang vitamin asap disana terselip pajak untuk negara. Pajak yang terus mengalir ketika asap dupa menyala. Namun bagimu hanya mendapatkan selisih harga dari grosir kecil tempat menghutang sementara. Sedikit demi sedikit keuntungan nanti akan mengalir kepada anak istri yang tabah menunggu kedatanganmu setiap waktu bekala.

Aku hanya meminta vitamin asap untuk mampu menghilangkan kantuk. Kantuk yang menyerang mata, namun tidak bisa memejamkan mata, aku cemburu karena matamu terelap dan bisa terjaga kemudian terlelap secera cepat dan sempurna. Ingin rasanya aku bercerita tentang siapa dirimu, namun tidak tega. Ku minta vitamin asap untuk sekedar ingin melihatmu bahagia mendapatkan pelanggan yang entah ke seberapa semenjak kau menjadi pengusaha.

Beberapa tahun sebelumnya, vitamin asap tidak lagi menemani hari demi hari, namun sekarang ia kembali menjadi primadona. Namun ada harga yang mesti dibayar dengan membuat komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan untuk memintal benang kata menjadi kain yang siap dijahit dengan makna dan pembelajaran.

Pagi itu udara dingin, baju tak belapis masih kurang dan mesti ditambah dengan jaket untuk menyempurnakan hangat tubuh. Bila nanti mesti berada dalam bus yang membawa ke Bandara dan melanjutkan penerbangan ke Kota yang penuh dengan romantika dan nostalgia ketika menjadi penerima wejangan dari guru di kampus universitas bung hatta.

Namun dirimu seakan telah kebal dengan udara dingin atau telah menjadi selimut hidup yang menghangatkan suasana hati. Lekuk tulang pipimu bergemetaran ketika mengembalikan uang berlogo Imam Bonjol tokoh pahlawan dari Ranah Minang kampungnya Buya Hamka. Betukar dengan selembar Pangeran Antasari dan Patimura. Namun tangan ini tidak tega melihat keteguhanmu dalam terus berusaha tida jeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline