Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yunus

Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Baitul Mal Masjid/Mushalla

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan ini lahir dari diskusi terbatas di Pascasarjana Magister Ekonomi Syariah Universitas Azzahra pada tanggal 1 April 2011 dengan beberapa rekan mahasiwa S2 Magister Ekonomi Syariah universitas Azzahra. Diantaranya Zulfison MA, Muhammad Yunus, S.E, Fitra

Percakapan tentang beberapa problematika kemiskinan yang masih memprihatikan dan membelenggu ummat islam yang hampir 90% membutuhkan perhatian dan permbedayaan untuk keluar dari lembah mustahik. Realitas kemiskinan tersebut terpapar teramat jelas dan tidak dapat disembunyikan dari pelupuk mata. Contoh kasus di daerah perkotaan seperti Jakarta kemiskinan tersebut bersanding mesra dengan kemewahan. Hampir di setiap suduk kota terlihat Muslim yang menjadi pengemis, pemulung dan pengusaha kecil berjualan baik di pasar kaget, emperan dan juga yang terkonsentrasi di kereta api, terminal bis.

Kemiskinan yang membelenggu tersebut juga di dukung oleh beberapa faktor yang terus menjadikan tetap berada dalam kemiskinan. Salah satu faktor menjadikan ummat Islam miskin adalah distribusi kekayaan yang timpang. Dimana terdapat banyak ummat Islam yang surplus secara ekonomi, lembaga Islam yang surplus secara ekonomi. Surplus ini tidak menjadi sebuah kekuatan mediasi untuk dapat memperkecil jumlah mustahik menjadi muzakki.

Ketimpangan distribusi ini disebabkan oleh daya picu kepemilikan harta dengan skema tabungan dan juga bisnis. Tidak sedikit uang ummat Islam parkir di beberapa perbankan sebagai dana pihak ketiga. Uang ini hanya bisa diakses mengikuti kaidah-kaidah yang tidak dapat diakses oleh orang miskin.

Disamping hal tersebut ada beberapa permasalahan yang penulis temui ketika menjadi praktisi ekonomi syariah di BMT Baiturrahman nagari Lasi Kecamatan Canduang Koto Laweh Kab. Agam. Permasalahan kemiskinan dan belenggu yang menjadikan seseorang tetap berada dalam kemiskinan walau memiliki usaha. Permasalahan tersebut adalah jebakan riba yang telah mengakar dalam di kehidupan setiap muslim terutama para mustahik. Satu tahun berhadapan langsung dengan pedagang dipasar penulis dapat memberikan gambaran beberapa hal:

1.Para pedagang membutuhkan modal usaha yang sifatnya cepat dalam pencairan dan tidak memperhitungkan dampak ekonomi bagi usaha.

2.Para pedagang mengandalkan bank rentenir untuk menutupi kebutuhan mendesak, apakah untuk anak sekolah, hajatan. Dan pembayarannya di ambil dari hasil penjualan.

3.Para tengkulak berani memberikan hutang dengan keuntungan yang sangat besar, bunganya dalam setahun hampir mencapai 100% bahkan lebih untuk beberapa daerah.

4.Beberapa lembaga koperasi dan perbankan tidak mampu melakukan pencairan cepat untuk kebutuhan pedagang, hal ini berasal dari sistem dan kebijakan. Beberapa koperasi masih beroperasi dalam siklus mengambil uang jasa dari pinjaman.

Melihat persoalan diatas dan menelisik kembali Alquran dan Sunnah ternyata bahwa ummat Islam dilarang miskin. Persoalan kemiskinan agama Islam adalah agama yang melarang ummatnya miskin. Hal ini terlihat jelas bahwa ayat tentang zakat dan anjuran berinfaq bersanding dengan sholat. Dalam surat Albaqarah ayat 3, 110, 117.

Kemudian Jafril Khalil dalam bukunya Jihad Ekonomi Islam menjelaskan bahwa kemiskinan adalah musuh besar umat Islam, mereka berkewajiban melawan kemiskinan yang menderanya. Allah swt tidak pernah memerintahkan penganutnya menjadi orang miskin, kalau kita baca seluruh ayat yagn ada di dalam Alquran, maka kita tidak akan pernah menjumpai aya tyang memerintahkan umat Islam menjadi miskin. Allah itu Maha penyayang, dia akan membantu umatnya keluar dari segala kesulitan.

Kehadiran beberapa lembaga keuangan syariah, baik berupa perbankan syariah, BMT, Lembaga Amil zakat yang dikelola pemerintah atau swasta telah mampu membantu beberapa permasalahan pengurangan kemiskinan. Namun ada sebuah tipping point meminjam istilah malcom gladwell dalam bukunya tipping point yang menganalisa sebuah model epedemi untuk menguatkan pengentasan kemiskinan.

Model ini menggunakan tiga pendekatan yang saling berkaitan satu sama lain. Pendekatan ini bertumpu kepada Masjid/Mushalla sebagai sarana, Ustadz/muballigh, khatib sebagai penyampai pesan dan Praktisi yang dilatih atau dilahirkan dari pelatihan bekejasama dengan lembaga yang concern dengan ekonomi syariah.

Model ini bernama Baitul Mal Masjid/Mushalla. Pengelolaan sistem keuangan masjid yang mengikuti pola akuntabilitas dan transparansipenyampaian baik laporan tertulis maupun lisan pada setiap hari jum’at. Prinsip dasar dari Baitul Mal Masjid/Mushalla adalah lembaga mediasi keuangan bagi tetangga Masjid/Mushalla untuk memproteksi dari jebakan rentenir, sebagai tempat memenuhi kebutuhan kehidupan lainnya.

Baitul Mal Masjid/Mushalla mempunyai fungsi sebagai lembaga yang mampu membantu tetangga masjid/mushalla dalam hal, pendidikan keIslaman yang tidak hanya bertumpu kepada kajian ibadah mahdah semata, namun mencakup aspek ekonomi, sosial dan hukum. Baitul Mal Masjid/ Mushalla adalah lembaga yang inheren dengan kepengurusan masjid. Dalam hal ini tidak mesti memiliki kepengurusan tersendiri untuk tahap awal.

Problematika yang akan dihadapi dalam pengimplementasian hal ini adalah:

1.Ketersediaan Sumber Daya Insani yang mampu menjalankan Baitul Mal Masjid/Mushalla. Hal ini dibutuhkan SDI yang mengerti tentang Zakat, Infaq, Sedekah serta pengelolaan untuk permbedayaan dan tidak sekedar sebagai charity.

2.Tingkat pengetahuan pengurus dan masyarakat yang belum familiar dengan Baitul Mal Masjid/Mushalla.

3.Sosialisasi yang intens dengan melibatkan ustad, muballig dan khatib yang menjelaskan pentingya Baitul Mal Masjid/ Mushalla sebagai benteng pengurangan kemiskinan dan memasyarakatkan ekonomi syariah.

Dari tiga permasalahan diatas beberapa langkah preventif dapat dilakukan untuk menimalisir perpecahan dalam ummat Islam.

1.Mengkaji sejarah tentang Baitul Mal pada masa rasulullah dan sahabat, hal ini berguna untuk landasan berpijak.

2.Menguatkan peranan Baitul Mal pada BMT yang telah eksis dengan menjadikan kegiatan CSR. Dan juga melibatka beberapa lembaga amil sebagai mitra strategis kelembagaan.

3.Melakukan workshop dan pelatihan terpadu berbasis wilayah yang dibagi berdasarkan Propinsi, Kabupaten bekerjasama dengan Departemen Agama dan Dinas Sosial.

Demikianlah beberapa hal kajian terbatas program Pascasarja Magister Ekonomi Syariah Universitas Azzahra. Dan insya Allah akan lahir tulisan lanjutan tentang Baitul Ma Masjid/Mushalla di tinjau dari berbagai aspek mulai dari kajian akademik, implementasi, problematka dan juga solusi untuk memasyarakatkan ekonomi syariah dan membebaskan ummat Islam yang dimiskinkan oleh jebarakan riba, amin.

Untuk informasi Pascasarja Magister Ekonomi Syariah Universitas Azzahra dapat menghubungi:

Zulfison M.A

Telp. 0813 8868 5400

Email: zulfisonsikumbang@gmail.com

Muhammad Yunus, S.E “Sang Pemenang Pembelajar”

Telp. 0813 7435 3697

Email: ky.yns21@gmail.com

Kampus: Universitas Azzahra Jl. Jatinegara Barat no 144. Kampung Melayu Jakarta Timur Telp. 021-2800 647 web. www.unversitas-azzahra.ac.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline