Seloroh seorang teman saat berbincang-bincang tentang rupiah yang digunakan dalam transaksi keseharian. Yang kita makan gorengan dari pedagang gorengan pinggir jalan. Harganya sekarang sudah sampai Rp 1.000,-/buah.
Sepuluh tahun yang lalu ketika kita masih menjadi mahasiswa di Kota Padang harga gorengan masih Rp 500,-/buah. Punya uang Rp 5.000,- dapat sepuluh untuk menemani diskusi malam dengan secangkir kopi. Saat ini sambil diskusi tentang nasib ekonomi masyarakat kita beli gorengan dengan jumlah uang yang sama hanya mendapatkan 5 buah gorengan. Bisa mendapatkan gorengan dengan jumlah yang sama, namun dengan ukuran yang setengah atau lebih kecil. Itu pun mesti membeli gorengan dengan minyak yang telah digunakan berulang kali. Atau barangkali membeli minyak curah dengan kiloan.
Ini baru pada tataran mikro kita berbicara rupiah dan kemampuan dalam daya tukar. Belum lagi persoalan beli bahan-bahan pembangunan infrastruktur pembangunan wah pemerintah. Belanja pakai rupiah? Jelas tidak, sebab belanja mesti pakai dollar amerika. Apa sebab? Dengan menggunakan rupiah saat ini yang nilainya hanya 1/12.600 menjadikan uang kita banyak.
Dalam hitungan sederhana bila belanja modal 100.000 dollar Amerika kita mesti mempersiapkan rupiah Rp 1.260.000.000,-. Jika belanjanya 1 juta dollar, maka uang yang mesti disediakan dalam bentuk kertas senilai Rp 12.600.000.000.000,- atau 12,6 triliun dalam rupiah. Barangkali ente ingat kata sahabat saya, hancurnya ekonomi Indonesia di mana rupiah terjun bebas dari nilai tukar Rp 2.500,-/1 Dollar menjadi 15.000/dollar.
Apa yang tejadi. Pengusaha yang berhutang dengan Dollar mengalami kebangkrutan. Perbankan juga mesti direkap dengan BLBI yang sampai saat ini pun bunga hutangnya masih membebani APBN yang tidak seberapa. Hasilnya adalah reformasi dan juga turunnya Presiden Soeharto. Harga barang melonjak tinggi terutama dari pengusaha yang berhutang dollar, pemerintah yang berhutang untuk pembangunan menggunakan dollar.
Sekarang pun rupiah tidak memiliki kekuatan penuh untuk mengkover bila kembali rupiah diterjunbebaskan dalam pertukaran mata uang. Akhir tahun 2014 di mana pengusaha dan juga pemerintah mesti membayar pokok hutang beserta bunganya dalam dollar rupiah yang stabil pada nilai tukar Rp 12.200 turun secara drastis menjadi Rp. 12.400 dan bahkan lebih.
Apa yang terjadi? Menteri Keuangan mesti mencari sumber pendapatan baru donk? Beban pajak dan sumber pajak baru harus diterapkan. Maka satu per satu barang jualan pengusaha ditelisik dan dikenakan pajak pertambahan nilai. Bila sekarang pajak PPN 10% dari 1 juta barang. Maka mesti ditambah menjadi 1,5 barang untuk mendapatkan ruang fiskal lebih besar.
Gunanya sebagian untuk belanja dan sebagian besar untuk mengurangi atau menutupi nilai rupiah yang terus lemah terhadap dollar guna bisa bayar hutang dan bunga dalam satuan rupiah. Terus, kenaikan BBM dan efek sampingnya gimana? Persoalan ini adalah model mendapatkan ruang fiskal yang besar. Dengan menaikkan BBM sementara waktu dan kemudian menurunkannya kembali sesuai dengan harga pasar dunia menjadikan pemerintah mendapatkan uang rupiah besar.
Jumlahnya sampai di atas 250 triliun rupiah. Bila nanti minyak dunia naik lagi dan tidak membebani biaya bayar utang dan bunga dalam dollar ya mesti harga BBM dinaikkan. Apa sebab? Beli BBM dan pengolahannya mesti dan wajib menggunakan dollar Amerika. Menggunakan rupiah ngak diterima dalam transaksi internasional.
Efeknya adalah bila nanti rupiah kembali diturunkan dalam nilai transaksi dan pemerintah buka hutang baru bernama skema investasi pertambangan, pembangunan maka semua harga pada berpacu naik. Bila hari ini masih bergaji Rp 3 juta rupiah, maka nilai tukar dengan komoditi yang dapat dibeli mesti dikurangi.
Karena nilai rupiah melemah terhadap komoditi, termasuk semua komoditi impor. Berarti nanti harga gorengan abang yang kita beli hari ini bisa berharga Rp 1.500,- donk per buah. Mestinya begitu. Sebab minyak goreng yang dibeli abang adalah hasil dari perkebunan sawit yang berhutang dengan dollar beserta bunganya.