Lihat ke Halaman Asli

Frengki Nur Fariya Pratama

Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Tragedi Cemara Kandang

Diperbarui: 9 Oktober 2020   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Deras hujan menunda langkah Sobur. Ditemani Jahe panas, gorengan dan rasa lelah sisa perjalanan. Sobur singgah di warung kopi pinggir jalan Cemara Kandang. Kecamuk akan kenihilan Tuhan kembali menyeruak disela istirahat.

Aneh, kala itu lamunannya melayang jauh mengimajinasikan rentetan peristiwa pengembaraan Jayengraga di Gunung Lawu. Tokoh masyhur bagi pengagum Centhini. Di tempat inilah, pertautan Jayengraga dengan Hyang Suci. Begitu pula, Sobur yang terbawa atas wasilah Jayengraga.  

Sobur yang begitu acuh, dan masa bodoh atas hiruk-pikuk dunia. Semenjak dia menganggap diri aktivis yang gagal. Begitu kecil hatinya sekarang. Dirinya tertimbun puluhan sampah yang dia suarakan. Mulai penggusuran, pelecehan seksual, korupsi yang mengakar sampai di tempat suci "kampusnya". Semua gagal disuarakan. Semua tertuju pada adanya dalang strategi disana. Sangat kelihatan. Namun, sulit diruntuhkan.

Sampah-sampah itu mengganjal, menyumpat kanal-kanal pikirannya. Hingga pemberontakannya pada Tuhan yang disucikan sedari kecil. Poster tulisan tebal berbunyi "TUHAN TAK MAHA ADIL" berjejer di hati dan pikirannya.

Entah mengapa, Sobur terpaksa merenung gema malapetaka manusia. Hingga, Hyang Suci mengutus alam menimpakan azabNya.

Tak terhitung, berapa jiwa yang dipulangkan Sang Pemilik, berapa janda dan anak yatim piatu terlahir, berapa laki-laki yang menjadi hina, sebab hilang cintanya. Begitu pula dengan jumlah dendam orang soleh, yang meregang nyawa karena kelakuan para hina? Sobur terus mengeja dan mengeja, sebab musabab timbulnya keruwetan dunia.

Rampak irama air hujan menyenandung di atas seng, mengheningkan suara-suara lain dengan gemuruhnya. Orang-orang yang bercengkrama pun harus rela mengeraskan suara agar terdengar lawan bicara. Namun, tidak dengan Sobur. Yang larut irama hujan. Baginya, hujan memperkuat lamunan akan pengembaraan Jayengraga, Sang penjelajah jiwa.

Gambaran menguat, menyusur persinggahan Jayengraga mencari dekap hangat Hyang Kuasa. Gunung Lawu-lah yang silih berganti masuk ruang imajinya.

Benaknya dideru satu tanya, ada hal ikhwal apa Jayengraga rela terpanggang matahari, dan tersayat tajam karang laluan? Ini semua, demi keselamatan umat manusia?

Mungkin sepi yang mendera jiwa, mungkin juga gundah lamunannya. Sobur berganti tanya. Lalu, mana letak jiwa-jiwa suci yang dia cari? Apa hanya omong kosong?

Layaknya film 3D, yang digandrungi remaja saat ini. Dalam lamunannya, bayang Jayengraga muncul. Walaupun Sobur tak pernah tahu sosok itu, Sobur yakin inilah Jayengraga. Sosok bodoh, yang digandrungi para pencari. Umpat dalam batinnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline